PALU – Pimpinan MPR RI, awal bulan ini telah menemui Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siradj di Gedung PBNU. Pertemuan itu salah satunya membicarakan perihal Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Idiologi Pancasila (HIP) yang menuai polemik di sejumlah kalangan.

Pada kesempatan itu, Ketua PBNU, KH Said Aqil Siradj mengusulkan agar RUU HIP dicabut dan diganti dengan yang baru bernama RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dengan catatan, pembahasannya harus melibatkan semua elemen masyarakat.

Menyikapi hal itu, Ketua Tanfidziyah, Pimpinan Wilayah (PW) Nahdlatul Ulama (NU) Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng), Abdullah Latopada, menyatakan sejalan dengan apa yang diusulkan PBNU.

“Karena kita terstruktur, maka apa yang menjadi sikap PBNU, menjadi sikap kita juga di daerah,” ujarnya.

NU, kata dia, pada intinya sudah menyatakan bahwa Pancasila tidak bisa lagi diotak atik dengan memasukkan idiologi-idiologi yang bertentangan.

“Makanya, pemerintah dan DPR juga harus konsisten mengakomodir usulan PBNU sebagai keinginan dari sebagian besar masyarakat Indonesia, misalnya dengan memasukkan kembali TAP MPR yang kemarin sempat dicabut,” katanya.

Sementara itu, Ketua PW Himpunan Pemuda Alkhairaat (HPA) Sulteng, Dedi Irawan, menambahkan, adanya usulan PBNU tentu sejalan dengan pandangan HPA, bahwa TAP MPR itu memang tidak boleh dicabut.

“Nilai keberagamaan, nilai keislaman juga tidak boleh dieliminir, seperti apa yang dipertentangkan oleh ulama-ulama kita pada pasal 7 RUU itu,” ujarnya.

Ketua PW HPA Sulteng, Dedi Irawan

Pada prinsipnya, lanjut dia, HPA menolak RUU HIP karena disinyalir ada agenda islamophobia di dalamnya, seperti meniadakan TAP MPR, kemudian mengeliminir prinsip bernegara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

“Inilah agenda islamophobia, agenda yang ingin mengsekulerkan negeri ini. Supaya kita juga tahu bersama, bahwa agenda-agenda islamfobia itu bukan hanya agenda komunisme, tetapi juga harus dipahami sebagai agenda barat. Jadi perlu dipahami bahwa RUU HIP ini adalah agenda barat,” ungkapnya.

Ia menambahkan, saat ini banyak yang menolak RUU HIP hanya dihubungkan dengan agenda komunisme saja.

“Kalau hanya masuk di situ justru kita bisa masuk di peta konflik tahun 1965. Di tahun 65 itu adalah kepentingan politik, jangan kita masuk di situ lagi karena itu agenda Amerika yang ingin membenturkan ulama dengan komunis. Tapi sekarang kalau kita bicara itu, justru kita ditantang untuk menunjukkan di mana komunis yang dikatakan itu,” terangnya.

Jadi, lanjut dia, yang perlu dipahami bahwa di dalamnya lebih dari sekadar komunisme, tetapi ada agenda islamophobia.

“Karena faktanya, yang menghabiskan kelompok-kelompok Islam ini adalah barat. Jadi perlu kita waspadai agenda di balik ini. Bahwa ada persoalan komunisme, ya kita berharap negara tidak mancabut TAP MPR di dalam RUU ini, karena memang penghapusan komunis itu sudah pasti tentunya,” tutupnya. (RIFAY)