Usianya sudah terbilang sepuh dan sedikit tergopoh-gopoh ketika berjalan. Badanya agak ringkih karena faktor usia, tetapi demi menghadiri Haul ke 54 Habib Idrus bin Salim (SIS) Aljufri atau Guru Tua, Hasyim Rumalele (73 tahun) semangatnya tak pernah surut walau menempuh perjalanan mobil ratusan kilometer.
Ustad Hasyim adalah salah satu murid Guru Tua yang mengajar di Madrasah Alkhairaat Kota Boroko, Bolaang Mongondow Utara (Bolmut), Provinsi Sulawesi Utara sejak tahun 1965.
Pada Haul kali ini, sang murid datang bersama rombangan dari Boroko, termasuk istri dan anaknya, kecuali dua tahun berturut-turut selama pandemic Covid, ia tak datang karena memang haul ditiadakan.
“Alhamdulillah, dengan kecintaan kami terhadap Alkhairaat dan Guru Tua, setiap pelaksanaan haul, kami dari Boroko itu selalu datang. Ini rutin kami lakukan bersama rombongan,” kata Hasyim saat ditemui di sela-sela haul Guru Tua, Sabtu (14/05).
Karena usianya sudah cukup tua, sehingga kali ini Hasyim didampingi istri dan anaknya. Sebelum-sebelumnya, ia selalu datang dengan murid-muridnya tanpa didampingi.
“Bapak sudah cukup tua, namun beliau ingin sekali tetap hadir di Haul sekaligus mau bertemu keluarganya di Palu, sehingga kami mendampinginya agar ada yang bisa jaga. Alhamdulillah semua berjalan baik,” ucap seorang anak perempuan Ustadz Hasyim.
Sebetulnya, Ustadz Hasyim adalah putra kelahiran Kota Palu, tepatnya di Kelurahan Kabonene, Kecamatan Palu Barat, 4 September 1949. Tetapi ketika sudah menamatkan sekolah mualimin Alkhairaat Palu, ia langsung mendapat tugas dari Guru Tua untuk berangkat ke Boroko tahun 1965.
Sejak itu pula, ia mengajar hingga murid-muridnya sudah mencapai ribuan dan banyak yang sukses.
Salah satu muridnya yang kelak menjadi Ketua Dewan Ulama Alkhairaat adalah almarhum K.H. Yahya Al-Amri. Sedangkan di Boroko tak terbilang banyaknya.
Tinggal di Boroko pada masa itu memang serba terbatas, namun karena solidaritas dan dukungan masyarakat kahirnya Alkhairaat bisa berkembang. Semula hanya tingkat Ibtidaiyah, berkembang adanya tsnawiah hingga madrasah dan terbentuk di berdiri di banyak tempat.
Sebelum Hasyim ke Boroko, di sana sudah ada dua alumni mualimin yang lebih awal mengajar di Ibtidaiyah Alkhairaat, cuma saja masih kekurangan guru.
Menurutnya, perlu penambahan tenaga. Guru yang lebih awal diutus Guru Tua adalah Seamin Paputngan dan Ismail Bolota, keduanya merupakan putra daerah Boroko setelah menempuh pendidikan Alkhairaat di Palu, kembali di tempat kelahirannya mengabdikan diri. Kemudian disusul murid Guru Tua dari Palu, namanya Hasbullah dan seorang dari Tomini bernama Abdullah, semuanya sudah almarhum.
Satu-satunya murid langsung Guru Tua masih hidup di Boroko, tinggal Hasyim sendiri.
Menurut Hasyim, sebagai guru yang mengabdi di tempat jauh tidak pernah menyurutkan semangatnya. Ditempatkan dimana pun pada masa itu tidak ada yang menolak dan itu sudah menajdikomitmen demi pengembangan pendidikan Alkhairaat.
Dari pengabdian Hasyim di Boroko, akhirnya di sana pula kelak menemukan jodoh, seorang gadis Bolaang Mongondow bernama Ramlah Fatilima yang dinikahi tahun 1977.
Kelak pasangan ini dikarunianya enam putra-putri.
Penulis : Jamrin AB
Editor : Rifay