OLEH: Ryan Aprilianto, SH*
Desentralisasi sebagai penyerahan kekuasaan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom, telah membuka ruang tumbuh dan berkembangnya demokrasi di tingkat lokal, terutama lewat rutinitas pesta demokrasi melalui pelaksanaan pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota serentak secara langsung oleh masyarakat pemilih.
Kontestasi pemilihan serentak telah memasuki gelombang keempat oleh 270 daerah yang meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota, pada 9 Desember 2020 lalu.
Pascapenetapan hasil pemilihan, pasangan calon kepala daerah sebagai kontestan Pilkada terbagi atas dua sikap yakni kegembiraan bagi yang ditetapkan memperoleh suara tertinggi dan kekecewaan bagi yang ditetapkan memperoleh suara yang rendah oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat.
Seringkali, bagi kontestan yang kalah akan mengungkapkan ketidakpuasannya terhadap hasil pemilihan yang ditetapkan KPU dengan mendalilkan kecurangan-kecurangan disertai lampiran bukti dan data pendukung yang pada intinya menyatakan mempengaruhi hasil pemilihan yang menyebabkan kekalahan baginya.
Lebih lanjut, fenomena tersebut diatur pada Pasal 156 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 (UU Pemilihan) yang menyatakan bahwa perselisihan hasil pemilihan merupakan perselisihan antara KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota dan peserta pemilihan mengenai penetapan perolehan suara hasil pemilihan yang signifikan dan dapat mempengaruhi penetapan calon terpilih.
Lembaga negara yang seharusnya berwenang untuk memeriksa dan memutuskan perselihan hasil pemilihan seharusnya adalah Badan Peradilan Khusus karena Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 junto Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang pada intinya menyatakan Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memutus perselisihan hasil pemilihan umum, bukan pemilihan kepala daerah.
Namun karena Badan Peradilan Khusus belum terbentuk, maka merujuk Pasal 1157 ayat (3), kewenangan tersebut diberikan kepada Mahkamah Konstitusi.
Secara prosedur bagi kontestan Pilkada yang akan mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi memiliki waktu paling lambat tiga hari kerja terhitung sejak diumumkannya penetapan perolehan hasil oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.
Mengutip laman resmi Mahkamah Konstitusi, untuk Pemilihan Gubernur terdapat 7 permohonan, Pemilihan Bupati 114 permohonan dan Pemilihan Walikota 14 permohonan sehingga total terdapat 135 permohonan perselisihan hasil untuk Pilkada Serentak Tahun 2020.
Untuk diketahui, di Provinsi Sulawesi Tengah terdapat tujuh permohonan perselisihan hasil atas Pemilihan Walikota Palu, Pemilihan Bupati Sigi, Pemilihan Bupati Poso, Pemilihan Bupati Tolitoli, Pemilihan Bupati Tojo Una-Una, Pemilihan Bupati Banggai dan Pemilihan Bupati Morowali Utara.
Hal ini menjadi catatan bagi penyelenggara, baik KPU maupun Bawaslu setempat untuk menyiapkan keterangan tertulis yang harus diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi sebelum pelaksanaan Sidang Pemeriksaan Pendahuluan pada 26 Januari 2021.
Dari sisi substansi permohonan, masih banyak ditemukan permohonan yang mendalilkan pelanggaran-pelanggaran administrasi, tindak pidana pemilihan dan sengketa dalam tahapan pemilihan sebagai dasar gugatan.
Padahal, ketiga hal tersebut bukan kewenangan dari Mahkamah Konstitusi. Namun demikian, jika pelanggaran yang didalilkan bersifat Terstruktur, Sistematis dan Masif maka untuk menegakkan nilai-nilai demokrasi, Mahkamah Konstitusi memandang perlu memeriksa dan mengadili permohonan tersebut.
Mahkamah Konstitusi tidak boleh membiarkan aturan-aturan keadilan prosedur (procedural justice) memasung dan mengesampingkan keadilan substantive (substantive justice).
Pada proses pemeriksaan di Mahkamah Konstitusi, selain pasangan calon yang merasa dirugikan melampirkan bukti-bukti kecurangan dan KPU yang bersikukuh akan penetapan hasil yang sudah benar dan tepat, terdapat Bawaslu yang memiliki peran sentral sebagai pemberi keterangan.
Bawaslu dalam perselisihan hasil pemilihan dituntut memberikan keterangan sebagai pihak netral, tidak memihak kepada Pemohon, Termohon maupun Pihak Terkait.
Sebagai pihak yang netral, keterangan Bawaslu yang meliputi hasil pengawasan tahapan pemilihan, hasil penanganan pelangggaran pemilihan serta hasil penyelesaian sengketa proses pemilihan. Keterangan Bawaslu seringkali digunakan sebagai pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutuskan perselisihan hasil pemilihan.
Terakhir, perlu dipahami bahwa gugatan ke Mahkamah Konstitusi menjadi upaya hukum terakhir yang dapat ditempuh oleh kontestan Pilkada. Hal ini juga dikarenakan putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat.
Dalam electoral justice system di Indonesia, Mahkamah Konstitusi menjadi muara terakhir bagi para pencari keadilan sehingga segala bentuk sengketa atau perselisihan hasil pemilihan dianggap selesai setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi dan tidak bisa lagi diganggu gugat.
*Penulis adalah Staf Divisi Hukum Bawaslu Provinsi Sulawesi Tengah