Sementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sendiri dalam portal Penilaian Angka Kredit (PAK) memasukkan JTDE ke dalam daftar jurnal yang harus dihindari, sehingga adalah fakta yang sangat ironis menemukan artikel dari seorang profesor Untad, yang juga menjabat sebagai Ketua Senat Untad dan Penanggung Jawab IPCC diterbitkan melalui jurnal tersebut, apalagi jika digunakan dalam pengusulan jabatan fungsional.

Seluruh artikel yang terdapat dalam daftar KPK Untad ditulis secara berkelompok. Meski demikian, seringkali ditemukan keganjilan, karena banyak artikel melibatkan penulis yang memiliki latar belakang disiplin keilmuan tidak sejalan atau tidak relevan dengan topik atau isu artikel. Yang mengindikasikan ciri lain terbitan predator yang dikenal dengan istilah free riding atau bonceng gratis dalam ungkapan akademisi Malaysia, yaitu meminta agar nama seseorang dimasukkan ke dalam daftar penulis sebuah artikel, meski yang bersangkutan tidak memiliki kompetensi atau kontribusi keilmuan.

KPK Untad juga mensinyalir terjadinya indikasi nepotisme dalam penulisan artikel dengan bukti faktual yaitu terdapatnya tiga judul artikel yang melibatkan relasi keluarga para penulis. Satu di antaranya telah disebutkan sebelumnya dalam hijacked journal yaitu Muhammad Basir Cyio, Fadhliah Liwesigi, dan Muhammad Fardhal Pratama.

Artikel kedua berjudul “Preparation of Biochar from Peanut Shells (Arachis Hypogaea L.) For Adsorption of Cadmium (II) Ion,” yang ditulis oleh Ryka Marina Walanda, Daud K Walanda, dan Mery Napitupulu, serta artikel berjudul “Empirical Analysis on Coping Strategy and Psychological Impact of Bullying Victim at School,” dengan para penulisnya yaitu Muhammad Nur Ali, Yunidar Nur, dan Muthia Aryuni.

Meski ketiga judul artikel tersebut juga melibatkan beberapa nama penulis lainnya, sulit untuk menepis tudingan adanya kepentingan bercokol atau benturan kepentingan yang memberikan keuntungan bagi para penulis yang memiliki relasi kekeluargaan. Terlebih lagi jika penulisnya terindikasi free riding, apalagi jika biaya penerbitan artikel tersebut ditanggung oleh Untad.

Munculnya pelecehan atas nilai-nilai moralitas dan integritas keilmuan dalam bentuk terbitan predatoris sebenarnya bukan isu baru dalam dunia akademik.

Jeffrey Beall, yang kemudian populer dengan Daftar Beall (Beall’s List) sejak 2008 telah mengidentifikasi munculnya tawaran menulis dan menjadi penyunting pada terbitan predatoris dengan mengeksploitasi kebijakan model penerbitan akses terbuka (open access journal policy).

Istilah predatory atau predatoris sendiri berasal dari hasil identifikasi Jeffrey Beall dengan ciri utama sesuai dengan predikat yang disandangnya, bersifat memangsa para calon penulis dengan menawarkan jaminan kemudahan penerbitan artikel sepanjang penulis bersangkutan bersedia untuk mengeluarkan sejumlah biaya tertentu.

Jurnal atau penerbit predatoris menghalalkan cara-cara yang tidak etis semisal tanpa atau minim telaah rekan sejawat (peer review) atau bahkan melakukan proses telaah palsu, editorial penulisan yang buruk dan tidak taat kaidah kebahasaan penulisan akademik (academic or scientific writing), proses penerbitan yang sangat cepat dengan frekuensi yang juga sangat tinggi, dan memuat rumpun peminatan keilmuan yang sangat luas.

Jeffrey Beall dengan sangat jeli juga berhasil menunjukkan bahwa terbitan predatoris memang seringkali dimanfaatkan oleh sejumlah kalangan akademisi untuk promosi jabatan tertentu, di mana indikator metrik, termasuk sitasi dapat dipermainkan dengan mudah.

Kemenristekdikti RI sebenarnya telah mengeluarkan berbagai regulasi yang bertujuan untuk menjamin bahwa terbitan ilmiah yang diproduksi oleh para akademisi Indonesia benar-benar bermutu atau bereputasi atau setidaknya tidak terlibat dalam praktik terbitan predatoris.

Salah satu ketentuan dan kriteria tentang jurnal internasional yang berkualitas dalam Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit Kenaikan Jabatan Akademik/Pangkat Dosen Kemendikbudristek Tahun 2019 menyebutkan dengan gamblang bahwa jurnal yang berkualitas adalah: “Karya ilniah yang diterbitkan ditulis dengan memenuhi kaidah ilmiah dan etika akademik.”

Portal PAK Kemendikbudristek bahkan membuat satu menu khusus berjudul “Jurnal atau Penerbit Predator,” dan melakukan pemutakhiran data dan informasi terhadap daftar jurnal atau penerbit yang berindikasi predatoris. Meski telah melakukan serangkaian upaya antisipatif, terbitan predatoris masih saja terus bermunculan, bahkan semakin menjadi-jadi.

Sebuah artikel ilmiah berjudul “Predatory Publications in Scopus: Evidence on Cross-Country Differences,” yang ditulis oleh Vit Machacek dan Martin Shrolec pada jurnal Scientometrics (126) tahun 2021 misalnya, menyebutkan bahwa 16.73% artikel internasional dari Indonesia masuk dalam kategori jurnal predator pada indeksasi Scopus dalam kurun 2015-2017, atau menduduki peringkat kedua tertinggi di dunia di bawah Kazakhastan.

Sementara itu dengan temuan yang identik, Profesor Arief Anshory Yusuf dari Universitas Padjajaran merangkum sebuah tabel yang diberi judul “who published in “questionable” journals seperti yang dapat dilihat pada ilustrasi berikut:

Terdapat dua indikator utama yang digunakan oleh Profesor Arief dalam tabel tersebut yaitu (a) jumlah artikel dalam jurnal yang dihentikan indeksasinya oleh Scopus tahun 2020 karena masalah penerbitan berdasarkan afiliasi negara; dan (b) jumlah jurnal yang dihentikan indeksasinya oleh Scopus tahun 2020 karena alasan penerbitan di mana afiliasi negara dari para penulisnya ditampilkan.

Berdasarkan beberapa hasil telaah dan analisis ilmiah tersebut, KPK Untad menilai bahwa kriteria PAK Kemendikbudristek, maka penting untuk kembali dievaluasi secara ketat, khususnya terkait dengan persyaratan terindeks pada database Scopus bagi artikel internasional yang diajukan oleh akademisi Indonesia.

Menurut KPK UNTAD banyak artikel yang termuat dalam jurnal maupun penerbit internasional yang terindeks Scopus faktanya pada akhirnya dihentikan indeksasinya oleh Scopus karena terindikasi sebagai jurnal atau penerbit bermasalah alias predatoris.

Kenyataan tersebut tentu saja sangat merugikan tidak hanya secara material, namun juga nama baik atau reputasi bagi penulis yang bersangkutan, institusi perguruan tinggi, bahkan reputasi Indonesia di lingkungan pendidikan tinggi global. Berkenaan dengan inisiatif Rektor Untad, KPK Untad menganggap bahwa langkah yang dilakukan Rektor Untad sama sekali belum menyentuh substansi permasalahan di Untad.

Menurut KPK Untad, dari sisi teknis saja nampak jelas ketidakseriusan Rektor Untad dalam merespon persoalan yang sangat fatal terkait karya ilmiah internasional dosen Untad yang banyak bermasalah tersebut. Beberapa nama yang ditugaskan dalam tim “pencerahan” justru mereka yang banyak terlibat dalam terbitan predatoris, sungguh ironis.

KPK Untad mengakui telah memperoleh dukungan dari berbagai pihak, termasuk dari Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) dan Asosiasi Profesor Indonesia (API).

Dalam sebuah surat rekomendasinya kepada KPK Untad bernomor: 139/API/TU/XI/2021 yang ditandatangani oleh Ketua Umum API Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc. dan Sekretaris Umum API Prof. Dr. Ir. Evy Damayanthi, M.S., API menyatakan dengan tegas: “menyesalkan masih adanya praktik-praktik yang tidak terpuji dalam proses pengusulan jabatan Guru Besar, antara lain berupa penerbitan karya ilmiah di jurnal-jurnal predator dan menyerukan kepada pihak berwenang untuk menghentikan praktik-praktik tidak terpuji tersebut.”

Bagi KPK Untad, berbagai praktik baik, termasuk penegakan disiplin dan ketegasan penindakan bagi yang terbukti secara sengaja mengabaikan peraturan perlu terus dilanjutkan dan disempurnakan agar nasib pendidikan tinggi di Indonesia tidak semakin terperosok.

Pada periode Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Menristekdikti yang dijabat oleh M. Nasir kala itu (2015) telah memberhentikan 5 orang Profesor yang terbukti melakukan plagiat dan menerbitkan artikel di jurnal abal-abal atau predatoris.

Dengan situasi yang lebih parah saat ini, mengapa Kemendikbudristek terkesan justru melempem dan melakukan pembiaran atas praktik tidak terpuji yang merusak moralitas bangsa ini?

*Penulis adalah Ketua KPK Untad (KPK Untad adalah sekelompok akademisi yang peduli dan prihatin atas kekisruhan di kampus Untad