OLEH : HS Shaleh Bin Muhammad Aldjufri*
Di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada dua orang sama-sama masuk Islam. Salah satunya lebih semangat beramal dibandingkan temannya. Orang yang lebih semangat itu ikut dalam pertempuran dan terbunuh. Temannya yang satu masih hidup setahun setelahnya, lalu meninggal di atas ranjangnya.
Maka ada seorang sahabat bernama Thalhah bin ‘Ubaidillah radhiallahu ‘anhu bermimpi tentang dua orang tersebut. Dalam mimpinya, keduanya ada di pintu surga. Lalu orang yang matinya di atas ranjangnya dipersilakan untuk masuk surga terlebih dahulu. Setelah itu temannya yang terbunuh dipersilakan masuk.
Paginya, Thalhah bercerita kepada orang-orang dan mereka takjub (heran) dengannya. Berita mimpi Thalhah dan takjubnya manusia pun sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Bukankah (orang yang mati di ranjangnya) ia masih hidup setahun setelah (kematian temannya yang terbunuh di jalan Allah) itu?” Sahabat menjawab: “Benar.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi: “Dan ia mendapati bulan Ramadhan lalu ia puasa dan shalat sekian dan sekian dalam setahun?” Sahabat menjawab: “Benar.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jarak (derajat) antara keduanya lebih jauh daripada jarak antara langit dan bumi.”
Karena mahalnya umur seorang mukmin, maka dahulu ada seorang ulama mengatakan: “Sungguh, satu jam kamu hidup padanya yang kamu beristighfar kepada Allah subhanahu wa ta’ala lebih baik daripada kamu mati selama setahun.”
Ulama itu yang sudah tua ditanya: “Apakah kamu ingin mati?” Jawabnya: “Tidak. Karena masa muda dan kejahatannya telah berlalu, dan kini datang masa tua bersama kebaikannya. Jika aku berdiri aku mengucapkan bismillah, jika aku duduk aku mengucapkan alhamdulillah. Aku ingin untuk terus dalam keadaan seperti ini.”
Dan ada (pula) seorang Alim f lain yang sudah tua ditanya: “Apa yang masih tersisa dari keinginanmu dalam kehidupan ini?” Ia menjawab: “Menangisi dosa-dosa yang telah aku lakukan.”
Oleh karena itu, banyak dari orang alim yang menangis ketika mau meninggal. Bukan karena berpisah dengan kenikmatan dunia, namun karena terputus dari amalan-amalan yang biasa dia lakukan berupa shalat malam, puasa, tilawatul Qur`an dan lainnya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memerhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-Hasyr: 18)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Hisablah diri kalian sebelum dihisab, perhatikanlah apa yang sudah kalian simpan dari amal shalih untuk hari kebangkitan serta (yang akan) dipaparkan kepada Rabb kalian.”
Terkadang telah datang kepada seseorang peringatan dari tubuhnya sendiri. Suatu hal yang menjadi cambuk supaya menyadari akan keadaannya. Sungguh uban yang meliputi kepala, kulit yang mulai keriput dan kekuatan yang mulai melemah merupakan peringatan bahwa ajal telah dekat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Dan apakah kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berpikir bagi orang yang mau berpikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan?” (Fathir: 37)
Demikian pula jika Allah subhanahu wa ta’ala telah memberi umur kepada seseorang hingga 60 tahun, berarti Allah subhanahu wa ta’ala tidak meninggalkan lagi sebab untuk seorang memiliki alasan. Kesempatan telah Allah subhanahu wa ta’ala berikan dan umur telah dipanjangkan.
Orang yang banyak kebaikannya, setiap kali dipanjangkan umurnya maka akan banyak pahalanya dan dilipatgandakan derajatnya. Maka bertambahnya umur akan bertambah pula pahala dan amalannya. Berbahagialah yang masih hidup hingga kini. Wallahul MUstaan
*Penulis adalah Direktur Utama Harian Umum Media Alkhairaat sekaligus Anggota DPD periode 2014-2019