PALU- Transformasi Untuk Keadilan (TUK) Indonesia meminta Pemerintah Sulawesi Tengah (Sulteng) berpikir mengalokasikan sumber daya manusia (SDM) dan anggaran atas dampak operasional perusahaan tambang di Sulteng, khususnya Morowali dan Morowali Utara.

“Sebab jangan sampai warga hanya mendapat remah-remah dari ekstraksi sumber daya alam (SDA),” ujar Direktur TUK Indonesia Edi Sutrisno, usai diskusi bertajuk ‘Menakar dampak kebijakan hilirisasi industri pengolahan nikel di Sulawesi Tengah (Sulteng)’ di Kantor Celebes Bergerak Jalan Dewi Sartika, Lrg.Perumahan Venna Garden, Blok C/9 Kota Palu, Sabtu (11/3).

Ia menyebutkan, seperti isu kesehatan, kekurangan air bersih menjadi isu penting dan menjadi mahal hari ini.

“Ini menjadi tantangan tersendiri, sama dengan kita tidak melakukan sesuatu untuk warga,” ujarnya.

Dan diketahui bersama sebut dia, peran pemerintah daerah atas keluarnya izin pertambangan rendah, sebab semuanya ada di pusat. Tapi dibutuhkan kecakapan pemerintah provinsi bernegosiasi dengan pemerintah pusat.

“Sebab hak-hak kewargaan itu bukan soal tambang,tapi tanggung jawab pemerintah secara keseluruhan.
“Jadi bukan sekadar mengatur tambangnya saja lalu angkat tangan, tapi ada hak-hak kewargaan harus dipenuhi dan peran pemerintah daerah menjadi keharusan,” katanya.

TUK Indonesia sendiri menurutnya, konsern pada data dan pemilik manfaat dari perusahaan tambang beroperasi. Sehingga kita semua tahu, tidak hanya pemerintah, siapa perlu urung rembuk untuk bertanggung jawab apa yang terjadi.

“Kalau kita tidak tahu pemilik manfaat, tentu kita tidak tahu juga kepada siapa minta pertanggungjawaban,” katanya.

Olehnya menurutnya, hal ini baik menjadi perhatian semua partai politik. Jangan hanya memikirkan elektoral, tapi memikirkan hak-hak warga harus dipenuhi.

“Saya yakin di tengah situasi politik ,ini menjadi perhatian publik,” sebutnya.

Untuk itu kata dia, TUK bersama NGO serta CSO di Sulteng, akademisi dan lainnya perlu menggalang satu kajian komprehensif, untuk memberikan masukkan dengan perencanaan tepat atas wilayah tambang.

“Sebab buat kami perencanaan tanpa basis argumentasi sainstifik. Saya kira bisa celaka lagi,” pungkasnya.

Program manager Celebes Bergerak Khairul Syahputra mengatakan, pihaknya memotret seluruh potensi-potensi dampak dari kebijakan hilirisasi nikel.Dan kedepan berharap Civil Society Organization (CSO) di Sulteng mampu merumuskan bersama langkah advokasi, guna efektifkan problematika pengelolaan industri nikel.

“Kita bukan menolak pertambangan nikel tapi kita menuntut bagaimana proses transparansi dampak dan keuntungan didapat dari adanya tambang, mungkin belum terinformasi baik kepada masyarakat.

“Sebab nikel salah satu industri diproyeksikan berkembang di Sulteng,”tuturnya.

Untuk itu kata dia, pihaknya mendesak bagaimana CSO bisa terlibat dengan akademisi dalam merumuskan kebijakan ataupun kritikan kebijakan.

“Sebagai narasi pembanding dari regulasi memuliakan perkembangan ekonomi, mengakomodir kepentingan elit politik atau elit-elit lainnya,” imbuhnya. (IKRAM)