DPRD dan Ormas Tak Sejalan

Wakil Ketua Komisi I DPRD Sulteng Wiwik Jumatul Rofiah meminta proses hukum kasus kematian Qidam, harus dilakukan secara transparan.

“Jangan sampai ada kesan melindungi, walaupun pelakunya mungkin saja aparat. Semuanya prosesnya harus terbuka,” tegasnya kepada wartawan saat menerima kunjungan perwakilan Anggota DPRD Poso di kantor DPRD Sulteng.

Saat itu, Wiwik pun sempat memberi sinyal jika pihaknya sangat mendukung kemauan Ormas, andai Operasi Tinombala dihentikan, karena dinilainya telah berlarut-larut dengan hasil yang tidak gemilang.  Justru, tiga nyawa warga sipil yang tidak memiliki hubungan dengan Kelompok Sipil Bersenjata Poso tewas diduga menjadi korban salah tembak.

“Janggal kedengarannya, hanya untuk mengejar kelompok Majelis Mujahidin Indonesia Timur (MIT), yang katanya sekarang jumlahnya tidak sampai 20-an orang, butuh waktu tahunan dan personel ratusan orang,” ungkapnya.

Namun, Kamis (02/07), usai melangsungkan hearing tertutup DPRD Sulteng beserta pihak Polda, Korem 132/Tadulako dan pihak lainnya, melalui Ketua Komisi I Sri Indraningsi Lalusu menegaskan bahwa Operasi Tinombala tetap dilanjutkan hingga Desember saat ini.

Bahkan, politisi PDIP itu menekankan, DPRD justru akan membentuk tim terpadu bersama Polda Sulteng, Korem 132/Tadulako serta pihak lainnya, guna mensosialisasikan pada masyarakat Poso agar tidak terpengaruh dengan kegiatan-kegiatan yang menjurus pada aksi-aksi terorisme. Juga kemudian melakukan pemantaun terhadap kurikulum pembelajaran yang ada di sekolah-sekolah, maupun pesantren di wilayah Kabupaten Poso.

Pun hal itu langsung direspon oleh Presidium Forum Umat Islam (FUI) Sulawesi Tengah, Ustadz Hartono Yasin Anda menyatakan evaluasi terhadap keberadaan Satgas Tinombala tetap harus dilakukan, sebab beberapa insiden yang melibatkan personel Satgas Tinombala dinilai justru menjadi teror baru bagi masyarakat.

“Perlu dievaluasi karena banyak insiden-insiden sebenarnya menimbulkan kasus hukum baru yaitu salah tembak,” tegas Hartono.

Salah satunya adalah insiden dugaan penganiayaan dilakukan personel Satgas Tinombala terhadap warga sipil hingga meregang nyawa dalam kondisi tak wajar. Dan kasus tersebut menurut Hartono jauh dari keadilan.

Ia menilai, dari jumlah sisa Kelompok Sipil Bersenjata yang hari ini masih ada di wilayah pegunungan Poso, tidak seharusnya melibatkan terlalu banyak lagi personel, yang ujungnya juga berdampak pada penggunaan anggaran milik negara dalam jumlah yang besar.

FUI Sulteng menyarankan agar Operasi Tinombala tersebut diganti dengan operasi biasa saja yang berada dibawah kendali TNI sepenuhnya. “Sederhananya seperti itu, serahkan pada TNI sebab tanpa kehadiran Satgas pun persoalannya bisa selesai,” tekannya.

Permintaan itu bukan tanpa alasan. FUI menilai, dalam setiap pergantian pimpinan Polda Sulteng, hampir tidak ada perubahan yang signifikan pada Operasi Tinombala. Pendek kata, tetap seperti itu saja, isu terorisme dibesar-besarkan, timbul-tenggelam dan tak kunjung usai.

Ia mengingatkan bahwa bagaimanapun pengakuan sebagai anak ibu pertiwi yang memiliki hak sebagai warga negara terhadap para pelaku tindak pidana terorisme harus tetap diberikan, salah satu cara solutifnya adalah dengan berdialog.

Bukan tak mungkin, ia menduga adanya rasa kecewa terhadap penegakan hukum ataupun kesenjangan sosial yang terjadi di Poso saat berlangsungnya, maupun pasca kerusuhan yang terjadi beberapa tahun yang lalu.

“Kita, termasuk para penegak hukum melihat ini adalah anak bangsa yang harus diselamatkan jiwanya,” tandasnya.