PALU- Tim Pengacara Muslim (TPM) Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) segera mengajukan surat  permohonan guna mendapatkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) atas laporan meninggalnya Qidam Alfarisi Mowance, remaja yang ditembak polisi pada Kamis 9 April malam.

“Rencana Senin (11/5) besok TPM akan mengajukan surat permohonan mendapatkan SP2HP. Jadi satu bulan sejak peristiwa penembakan/dugaan penganiayaan oknum polisi, sampai hari ini belum ada titik terang (perkembangan signifikan), walaupun ayah kandung almarhum telah melapor resmi sejak Senin 13 April lalu, ” kata Ketua TPM Sulteng, Harun Nyak Itam Abu, Ahad (10/5).

Dia mengatakan, meskipun Penyidik Direskrimum Polda Sulteng dan Propam, sudah memeriksa lima orang warga yang mengetahui kronologis peristiwa tersebut sebagai  saksi. Namun bila dalam permohonan SP2HP tidak ada perkembangannya, maka pihaknya akan bersurat ke DPRD Provinsi Sulteng, untuk meminta agar DPRD Sulteng menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Kapolda Sulteng.

“Guna mendapat penjelasan dari Kapolda terkait peristiwa tersebut dan untuk mengetahui apa faktor-faktor penyebab sehingga penyelidikan kasus tersebut terkesan lamban,”katanya.

Selain itu kata dia, TPM meminta Komnas HAM Perwakilan Sulteng untuk menyurat ke Kapolda terkait penanganan kasus almarhum Qidam, guna menghindari dugaan pelanggaran HAM oleh Petinggi Polda Sulteng berkenaan dengan “delict by omission”.

Dan tak kalah penting menurutnya, TPM akan menggalang elemen umat mendesak penyidik Polda untuk serius menangani kasus ini.

Harun menyebutkan, dalam catatan TPM sendiri ada beberapa kasus serupa, tidak ada penyelesaian tuntas. Namun dia tidak bisa merincinya secara jelas, sebab sedang berada di luar.

Agar peristiwa dialami Qidam tidak terulang kembali di masa mendatang, menurutnya, perlu ada pembenahan dalam rekruitman anggota Polri.

“Hendaknya diloloskan mereka yang betul-betul memiliki kondisi kejiwaan stabil dan tidak mudah panik,” katanya.

Ia mengatakan, dalam berbagai peraturan Perundang-undangan, polisi memang diberi diskresi untuk melakukan tindakan guna keselamatan diri dan warga.

“Tetapi dengan catatan bahwa orang dihadapi berbahaya (misalnya memegang senjati api atau senjata tajam), tapi terhadap warga masyarakat  tidak membahayakan, ada langkah/tindakan lain harus dilakukan misalnya, penggunaan tangan kosong,” katanya.

Oleh karena itu kata dia, jangan sekali-kali gampang mengeluarkan satu peluru pun. Sebab peluru dibeli dari pajak dibayarkan rakyat.

Penanganan Poso sendiri sudah berlangsung sejak 2008, sampai saat ini belum tuntas. Untuk itu, dia berharap agar perihal Poso ini diselesaikan dengan pendekatan humanis dan tidak menggunakan kekerasan.

Selaku warga Sulteng, yang kebetulan lahir dan besar di Palu, dirinya, sangat prihatin karena sejak 1998, kekerasan di Bumi Sintuwu Maroso tidak pernah selesai.

“Selalu saja ada anak Bangsa yang meninggal sia-sia,” katanya.

Ia menyebutkan, operasi Tinombala sejak beberapa tahun dilaksanakan, faktanya tidak dapat menyelesaikan masalah.

Harun menambahkan, perlu dilakukan saat ini adalah dialog, sebab mereka yang disebut-sebut kelompok MIT juga adalah manusia yang punya akal pikiran.

“Sehingga langkah penyelesaian dengan dialog , sesuatu yang mungkin dan bukan mustahil,” ujarnya.

Qidam Alfarizki Mowance meninggal dunia di Desa Tobe Kecamatan Poso Pesisir Utara Kabupaten Poso pada 9 April 2020. Berdasarkan keterangan Kabid Humas Polda Sulteng, Kombes Pol Didik Supranoto, Qidam meninggal karena melakukan perlawanan saat dilakukan pengejaran.

Oleh polisi Qidam dituduh bagian dari Teroris. Namun oleh keluarga membantah Qidam termasuk dalam jaringan teroris. Dia hanya remaja yang kabur dari rumah sebab ada perselisihan dengan neneknya.(Ikram)