PALU – Pihak DPRD Provinsi Sulawesi Tengah akhirnya menyatakan persetujuannya untuk melanjutkan tuntutan mahasiswa se-Kota Palu yang menolak Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law, ke DPR RI dan pemerintah pusat.
Kesepakatan ini dicapai setelah dua kali pertemuan antara mahasiswa yang mengatasnamakan “Mahkota” (Mahasiswa se Kota Palu) dengan para legislator.
Awalnya, perwakilan mahasiswa yang diijinkan berdialog dengan anggota dewan, meminta agar pihak DPRD menyatakan sikap penolakan atas UU tersebut dalam bentuk surat keputusan, disertai dengan video pernyataan.
Tak hanya itu, mahasiswa juga meminta agar para anggota DPRD menindaklanjuti kurang lebih 30 poin tuntutan ke DPR RI dan pemerintah pusat.
Namun dari permintaan yang terkait dengan UU Omnibus Law itu, pihak DPRD hanya menyetujui satu poin, yakni menindaklanjuti tuntutan para mahasiswa ke pusat.
Atas hal itu, maka dibuatkanlah berita acara berisi penerimaan aspirasi dan kesediaan untuk menyampaikan sekaligus mengawal tuntutan mahasiswa ke tingkat pusat.
Berita acara itu ditandatangani sejumlah anggota DPRD yang hadir saat itu, yakni Alimuddin Pa’ada (Partai Gerindra), Hasan Patongai, Yahdi Basma dan Ibrahim Hafid (ketiganya dari NasDem), I Nyoman Slamet (PDI-Perjuangan), Wiwik Jumatul Rofi’ah (PKS) dan Ismail Junus (Hanura).
Sebelum penandatanganan berita acara, salah satu perwakilan mahasiswa, Yusril Mahendra, mengatakan, UU Cipatker beda dengan RUU KUHP, karena sudah disahkan.
“UU ini belum memenuhi landasan sosiologis, buktinya masih ada gejolak di masyarakat,” katanya.
Ia juga menyampaikan kejanggalan dari penetapan UU tersebut, di antaranya disahkan tengah malam, kemudian maju dari jadwal yang sudah direncakan dari sebelumnya, dari tanggal 10 dimajukan ke tanggal 5 Oktober.
Ia pun mengungkapkan beberapa pasal yang dianggap janggal dalam UU tersebut, di antaranya tidak adanya patokan nilai pesangon kepada pekerja yang di-PHK.
“Ini membuka peluang perusahaan untuk semena-mena. Persoalan ketenagakerjaan dalam pasal 151 rancu. Akan sangat mendominasi terjadinya PKH,” tuturnya.
Anggota DPRD Sulteng, Yahdi Basma, mengatakan, seribu kali ketuk palu penolakan di DPRD Sulteng tidak akan ada artinya karena yang berwenang adalah DPR RI.
“Kecuali itu diketuk sekali oleh DPR RI,” katanya, diamini anggota DPRD lainnya, I Nyoman Slamet.
Ia menambahkan, UU tersebut memiliki semangat untuk membuka peluang kerja kepada masyarakat.
Hal berbeda disampaikan Wakil Ketua Komisi I DPRD Sulteng, Wiwik Jumatul Rofi’ah.
Jika ditanya sikap, PKS sejak awal sudah menolak UU tersebut.
Ia mengakui, jika dikaji secara mendalam, mungkin UU tersebut akan besar manfaatnya.
“Tapi Ibu Lidia, Anggota Baleg DPR RI akui belum dikaji secara mendalam,” tuturnya.
Sehingga, kata dia, hanya ada dua cara untuk membatalkan UU tersebut, yakni dengan Perppu dan Judisial Review.
“Kita berbeda tidak sekadar berbeda, apalagi cari muka. Tapi ini untuk kepentingan bersama,” pungkasnya. (RIFAY)