OLEH: Moh. Ahlis Djirimu*

Pekan pertama Juli 2022 ditandai dengan volatilitas kurs mendekati Rp 15.000,- per US dolar. Kurs rupiah melemah pada tingkat Rp14.968,- atau melemah 0,2 persen dibandingkan pada sesi penutupan 1 Juli.

Pada Selasa, 5 Juli 2022, rupiah kembali terdepresiasi sebesar 0,13 persen pada tingkat Rp14.988,-. Nilai ini berarti 32 poin mendekati tingkat psikologis kurs rupiah.

Pada Rabu, 6 Juli, kurs rupiah berada pada tingkat Rp14.997,- atau melemah 0,06 persen dari sehari sebelumnya. Pada Kamis, 7 Juli, rupiah menguat sebesar 0,01 persen pada tingkat Rp14.996,- pada rentang transaksi Rp14.967-14.996,- Pada Jum’at, 8 Juli, Rupiah kembali menguat pada tingkat Rp14.977,- per USD pada interval transaksi Rp14.973-14.984,-

Ada beberapa faktor menjadi penyebab melemahnya rupiah ini. Pertama, tingkat inflasi beberapa negara Asia mengalami peningkatan tinggi. Pada Juni 2022, inflasi di Korea Selatan mencapai 6 persen.

Hal ini dapat mendorong Bank of Korea mengikuti langkah the Fed, Bank Sentral Amerika menaikkan suku bunga pada tingkat tertentu untuk membendung laju kenaikan inflasi.

Di Thailand, inflasi mencapai 7,66 persen, yang merupakan inflasi tertinggi selama 14 tahun terakhir. Hal ini disebabkan oleh kenaikan harga energi sebagai konsekuensi perang Rusia-Ukraina yang akan berlangsung lama.

Dalam empat tahun terakhir, inflasi di Filipina mencapai tingkat tertinggi yakni 6,1 persen.

Di Indonesia, kecenderungan kenaikan harga tidak hanya ditentukan oleh kenaikan harga komoditas esensial dan kenaikan harga energi, kebijakan pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) mulai 5 Juli sampai dengan 1 Agustus 2022 dapat menimbulkan tekanan kurs rupiah.

Hal ini terbukti pada Rabu, 6 Juli 2022, kurs rupiah terjun bebas pada Rp14.997,-

Kedua, adanya peningkatan kasus Covid-19 di Tiongkok. Peningkatan kasus ini dibayang-bayangi oleh kebijakan lockdown pada kota-kota pusat ekonomi dunia di Tiongkok.

Ketiga adanya kekhawatiran resesi menimbulkan peningkatan permintaan safe-haven asset. Tanda-tanda menuju ke fase resesi mulai terlihat dengan perkiraan kenaikan suku bunga acuan the Fed bakal akan dinaikkan lagi pada Juli ini.

Sebaliknya, menguatnya rupiah pada Kamis, 7 Juli sebesar 0,01 persen pada tingkat Rp14.996,- dan Jum’at, 8 Juli menguat lagi sebesar 0,13 persen pada tingkat Rp14.977,-disebabkan oleh adanya risalah Federal Open Market Committee (FOMC) yang akan menerbitkan kebijakan restriktif bila inflasi berlanjut terus di Amerika dengan konsekuensi adanya perlambatan ekonomi.

Selain itu, apresiasi rupiah Bersama beberapa mata uang regional : Ringgit sebesar 0,03 persen, Baht 0,35 persen, Yen 0,15 persen terjadi secara insidentil karena dibarengi dengan depresiasi mata uang regional lainnya.

Walaupun rumah tangga di Indonesia menghadapi tekanan kenaikan harga-harga komoditas esensial dan energi yang juga dirasakan oleh rumah tangga di belahan Asia lainnya, konsumen Indonesia masih menaruh harapan besar pada kondisi ekonomi Indonesia.

Hal ini tercermin dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK), walaupun menurun dari 128,9 poin pada Mei 2022 menjadi 128,2 poin pada Juni 2022. IKK tetap berada pada tingkat di atas 100 menunjukkan harapan besar konsumen Indonesia akan kemampuan Pemerintah dan Bank Indonesia berkolaborasi mengatasi tekanan harga-harga Sembilan bahan pokok dan kenaikan harga energi.

Penyediaan lapangan kerja berbasis cash for work maupun menjaga saluran distribusi pangan menjadi tugas paling utama agar daya beli masyarakat terjaga dari tekanan inflasi impor.

Pada pekan kedua Juli 2022, kurs rupiah menguat pada tingkat Rp14.973,- pada interval Rp14.958,- sampai dengan Rp14.983,-. Hal ini terbalik dengan beberapa mata uang regional yang pada Senin, 11 Juli 2022 melemah. Dollar Sinagpura melemah -0,16 persen, Baht -0,21 persen, Peso 0,10 persen, Yen -0,56 persen, Yuan 0,19 persen, Dollar Taiwan -0,10 persen, Dollar Hong Kong -0,01 persen.

Depresiasi pada hari itu, disebabkan oleh peningkatan Covid-19 varian Omicron BA.5.2.1 di Tiongkok yang memiliki daya tular lebih cepat dan pemberlakuan denda atas kebijakan anti-monopoli.

Pekan kedua Juli ditandai pula oleh stagnasi kurs pada tingkat Rp14.988,- pada 12 dan 13 Juli 2022. Pada Jum’at, 15 Juli 2022, kurs rupiah kembali terdepresiasi Rp14.993,- dari dua hari sebelumnya. Depresiasi ini terjadi pada semua mata uang regional kecuali Yen yang mengalami apresiasi +0,05 persen.

Hal ini terjadi karena pertumbuhan ekonomi Tiongkok pada triwulan II 2022 hanya mencapai 0,4 persen lebih rendah dari consensus pasar 1 persen. Hal ini tentu akan berpengaruh pada permintaan Tiongkok di pasaran internasional karena pada triwulan I 2022, laju pertumbuhan ekonomi Tiongkok mencapai 4,8 persen.

Negara-negara mitra dagang Tiongkok di Asia patut mengantisipasi meredupnya permintaan impor Tiongkok yang tentunya akan menurunkan aktivitas industry manufaktur dan mengerem belanja konsumen.

Bagi Indonesia, strategi penyiapan pangan dan hortikultura, perikanan sepatutnya dimulai sejak awal agar covid-19 yang akan dapat berujung pada krisis pangan dapat diantisipasi terutama pada daerah-daerah yang secara potensial merupakan cadangan pangan di Indonesia.

Kebijakan the Fed yang kemungkinan akan menaikkan Fed Fund Rate (FFF) sebesar 100 basis poin pada Juli patut juga diantisipasi karena sebagai satu dari beberapa mitra dagang potensial Indonesia, inflasi impor juga patut diperhitungkan.

Melalui indikator kurs ini, memberikan pelajaran bagi kita, bahwa dalam dunia yang fana ini, ada interdependensi antar satu kejadian di belahan lain, maka berpengaruh pada kita. Pelajaran bagi bagi manusia yang menempati atap dan tanah yang sama untuk menjaganya sebagai khalifah di muka bumi.

*Penulis adalah Staf Pengajar FEB-Untad