PUAN PEJUANG KESETARAAN DARI TORO

Meraih informasi sejumput demi sejumput perihal Tina Ngata, ceritera pasal kegigihan Rukmini merebut kembali ruang perempuan memulai dari lingkungannya hingga berhasil, bukanlah sesuatu yang mudah. Sebab kerap kali puan-puan di Indonesia yang berada di jalur tersebut, tumbang berguguran.

Barangkali, hal itu menjadi dasar penilaian yang digambarkan Aktivis HAM dari Solidaritas Korban Pelanggaran HAM Sulawesi Tengah Nurlaela Lamasitudju, Rabu (29/7), untuk Puan Pejuang Kesetaraan dari Toro, Rukmini.

Dalam hipotesis perempuan kelahiran Poso ini, alur waktu perempuan Indonesia secara umum serta Sulawesi Tengah secara khusus, pernah tiba dalam masa kegelapan. Perempuan kehilangan ruang, harkat dan martabatnya saat memasuki masa penjajahan Belanda, bahkan meski Republik ini telah merdeka, hingga memasuki tahun 1998.

Namun setahun kemudian, secara khusus ruang perempuan itu dikembalikan lagi secara utuh melalui kehadiran Komnas Perempuan hingga Kementerian Pemberdayaan Perempuan oleh Indonesia.

Mengenang itu, Nurlaela menyebutnya sebagai bentuk upaya merumahkan, men-dapur-kan, hingga meng-kasur-kan kaum wanita, dengan program andalan Pemerintah masa itu, yang hingga sekarang dikenal sebagai Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK).

Ketua SKP-HAM Palu, Nurlalela A.K. Lamasituju menunjukkan buku “Menemukan Kembali Indonesia” yang diluncurkan di Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (22/01/2015). (SUMBER: SKP-HAM)

Kata dia, tibanya perempuan dalam masa kegelapan, tidak lepas dari kepentingan politik era orde baru. Berbeda pemimpin, maka berbeda pula perlakuan yang diberikan pada perempuan.

Padahal sejatinya, menurut pegiat HAM Sulawesi Tengah ini, perempuan Sulawesi Tengah, yang domainnya adalah perempuan Kaili, sejak dulu telah hidup setara dengan kaum laki-laki, dengan kehadiran sejumlah raja perempuan menjadi bukti yang tak terbantahkan.

“Maka boleh jadi atas kepentingan sebagai penguasa saat itu, agama kawin dengan politik, sehingga peran-peran perempuan menjadi di-Dharma Wanita-kan dan di- PKK-kan,” ujar putri ulama besar KH Abd Karim Lamasitudju ini.

Dari bangunan papan bercampur beton, sekitar 20 meter dari Jalan Utama Basuki Rahmat, jalan bersejarah menjadi salah satu titik kerja paksa para korban 1965/1966, tepat di belakang hotel berlantai 11 di Kantor SKP-HAM Sulteng, perempuan akrab disapa Kak Ela ini juga menegaskan, prinsip hak asasi manusia adalah setara. Maka apabila mampu, menjadi pemimpin bagi perempuan adalah hak yang tidak jauh panggang dari api.

Ia pun menilai apa yang dilakukan Rukmini dengan menerapkan seluruh prinsip hak asasi manusia hingga kini telah benar. Nurlaela menyebut Rukmini sebagai Pejuang Kesetaraan yang Nyata dari Toro.