PALU- Tim ekspedisi Poso mulai melakukan perjalanan menyusuri jalur sesar Poso Barat, Kamis (16/5).
Perjalanan ini dilakukan oleh para budayawan, tokoh adat Poso, pegiat lingkungan bersama-sama dengan para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu, berlatar belakang geologi, arkeologi, palaentolog, biologi, dan teologi.
Dalam rilis diterima media ini, Ketua tim Ekspedisi Poso, Lian Gogali, mengatakan, perjalanan Ekspedisi Poso ini yang pertama dilakukan dengan menelusuri keanekaragaman, alam, budaya dan potensi bencana yang dilintasi sesar Poso Barat.
“Desa-desa yang ditelusuri yaitu Desa Tindoli, Tolambo, Tokilo, Pendolo, Korobono, Pasir Putih, Pandayora, Mayoa, Uelene, Bance, Panjo, Padamarari, Taipa, Owini, Meko, Salukaia, Toinasa, Tonusu, Leboni dan Buyumpondoli,” katanya.
Menurutnya, yang menarik, dalam Ekspedisi Poso adalah kolaborasi pengetahuan dan pengalaman di antara akademisi dengan berbagai latar belakang ilmu.
Olehnya itu, kata dia, ekspedisi ini bukan hanya meneliti material tanah, batu, air, mahluk hidup danau dan vegetasi tanaman, serta fenomena alam yang terjadi di sekitar desa, tapi juga cerita rakyat.
“Ini adalah perjalanan yang bukan hanya berisi para ilmuwan, tapi juga ada kolaborasi dengan pengetahuan lokal yang dimiliki masyarakat setempat,” katanya.
Dia mengatakan, hasil penelusuran tim ekspedisi Poso dalam bentuk dokumen, akan diserahkan kepada Pemda Poso, pemerintah desa, termasuk masyarakat umum, untuk bisa digunakan dalam perencanaan dan pengawasan pembangunan.
Hal sama juga disampaikan Hery Yogaswara, seorang antropolog yang tergabung dalam tim ini. Menurut dia, pengetahuan lokal penting menjadi bahan pengetahuan untuk mengetahui bencana di masa lalu.
Hery menyebut, salah satu tantangan tim Ekspedisi Poso nantinya adalah menyusun tulisan mengenai kearifan lokal masyarakat, khususnya yang bermukim di pinggiran danau Poso.
Dia menambahkan, Ekspedisi Poso dilakukan untuk memperkuat mitigasi bencana paska bencana dahsyat gempa bumi yang disusul tsunami, likuifaksi di Palu, Sigi dan Donggala serta berdampak sampai ke Parigi Moutong.
“Data Pusgen menunjukkan dari 48 sesar aktif yang melintang di Sulawesi Tengah, tiga sesar yakni Sesar Tokararu, Sesar Poso dan Sesar Poso Barat menggaris di kabupaten Poso,” katanya.
Dia mengatakan, beberapa gempa besar terjadi kurun lima tahun terakhir. Yang terakhir gempa berkekuatan 5,7 magnitudo pada 24 Maret 2019 lalu, yang sumbernya dari sesar Poso Barat di sekitar Desa Toinasa.
Selanjutnya kata dia, gempa-gempa lebih kecil terus terjadi hingga saat ini , terutama di desa Pendolo, Owini dan Taipa, semuanya ada di kecamatan Pamona Selatan dan Pamona Barat.
Saling berbagi pengetahuan menjadi salah satu sebab mengapa perjalanan ini penting dilakukan. Khususnya berbagi pengetahuan tentang bencana.
Sejumlah warga desa Meko kecamatan Pamona Barat mengatakan mereka baru mengetahui kalau wilayah mereka dilintasi sesar yang aktif. Cristian Bontinge, tokoh adat Pamona mengatakan baru mengetahui istilah Sesar dan Sesar adalah salah satu penyebab gempa bumi.
Beberapa akademisi yang ikut dalam ekspedisi ini antara lain Abang Mansyursyah Surya Nugraha Ph.D (Kepala Program Studi Geologi Universitas Pertamina Jakarta), Dr Herry Yogaswara (Kepala Litbang Kependudukan LIPI), Dr Burhanudin (Ikatan ahli Geologi Indonesia), Dr Asyer Tandampai (teolog STT GKST), Dr. Tirza Meria Gunda ( akademisi Universitas Sintuwu Maroso), Dr Ita Mowidu (akademisi Universitas Sintuwu Maroso Poso), Neni Muhidin (pegiat literasi bencana), Iksam Djorimi (arkeolog, wakil kepala museum Sulteng), Drs Abdullah MT (akademisi Universitas Tadulako), Reza Permadi (Ketua Geosaintis Muda Indonesia, Pendiri Geowisata), Neneng Susilawati (peneliti), Resti Samyati (Palaentologist, Universitas Pertamina), Rahman Hakim (Ikatan Ahli Geologi Indonesia). (Ikram)