Data Balai Bahasa menunjukkan bahwa tidak ada satupun bahasa daerah atau bahasa ibu di Sulawesi Tengah yang berstatus aman.
Revitalisasi Bahasa daerah di Indonesia menjadi program utama Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang dikenal dengan nama Merdeka Belajar Episode 17: Revitalisasi Bahasa Daerah (MB-17 RBD).
Kegiatan itu bertujuan demi tetap tegak terjaga, dan tetap berkembangnya bahasa-bahasa ibu di tengah-tengah masyarakat pemiliknya.
Bahasa daerah merupakan aset yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia. Menjadi salah satu jati diri bangsa ini yang serba berbineka.
Hal tersebut disampaikan Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbudristek, Aminuddin Aziz pada pembukaan Festival Tunas Bahasa Ibu Nasional di Jakarta pada 14 Februari kemarin.
Menurut Aminuddin, dengan kebhinekaan itu, bangsa Indonesia diproklamasikan, dibangun, dan telah tumbuh serta maju menjadi bangsa yang besar seperti wujudnya saat ini. Sebagai bagian dari aset dan ciri kebhinekaan, maka bahasa-bahasa daerah harus tetap dilestarikan dan dicegah dari kepunahan, sehingga tidak terjadi kehilangan kekayaan budaya, pemikiran, dan pengetahuan yang tersimpan dalam khazanah bahasa daerah.
Sejalan dengan itu, Kepala Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng), Asrif, mengatakan, Kepala Badan Bahasa Kemenristekdikti itu mengutip data UNESCO bahwa dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, ada 200 bahasa daerah yang punah.
“Dengan memiliki 718 bahasa daerah, Indonesia tentu mengalami hal serupa, sebab setiap bahasa daerah, baik dengan jumlah penutur besar apalagi kecil, menunjukkan daya hidup atau vitalitas bahasa yang menurun. Data Badan Pusat Statistik terbaru menunjukkan bahwa penggunaan bahasa daerah di kalangan penuturnya, terutama dua kelompok generasi termuda, mengalami penurunan secara signifikan,” papar Asrif, dua hari lalu (15/03).
Vitalitas bahasa yang menurun juga termasuk bahasa-bahasa daerah di Sulteng.
Data Balai Bahasa menyatakan bahwa tidak ada satupun bahasa daerah di Sulawesi Tengah yang berstatus aman. Bahasa Kaili misalnya, menjadi salah satu bahasa daerah yang mengalami kemunduran. Banyak generasi mudanya yang tidak menguasai bahasa Kaili, enggan berbahasa Kaili, dan sebagainya. Wilayah tutur bahasa Kaili di tengah Kota Palu pun semakin menyusut.
“Kondisi itu diperumit dengan terbatasnya regulasi untuk memperkuat bahasa Kaili, misalnya kamus, tata bahasa, perda, satu hari berbahasa Kaili, dan kebijakan lainnya. Wilayah tutur bahasa daerah misal bahasa Kaili, diganti oleh bahasa lain bahkan yang memprihatinkan ialah ketika wilayah penggunaan bahasa Kaili malah terganti oleh bahasa daerah lain,” tambah Asrif.
Oleh karenanya, seperti daerah-daerah lainnya di Indonesia, revitalisasi bahasa daerah di Sulawesi Tengah merupakan program strategis, utama, dan sangat diperlukan demi tetap lestarinya, terlindunginya, dan bahkan berkembangnya bahasa daerah kita.
“Sehingga diadakan rakor (rapat koordinasi) bersama pemangku kepentingan, untuk sementara, tahun ini lima kabupaten/kota, untuk bahasa Kaili (Palu dan Donggala), bahasa Pamona (Poso), bahasa Saluan (Banggai) dan bahasa Banggai (Banggai Kepulauan),” ujar Asrif, Kamis (16/03) pada pembukaan Rakor Antarinstansi dalam Rangka Implementasi Model Pelindungan Bahasa Daerah.
Peserta kegiatan ini berjumlah 60 orang, masing-masing 12 peserta tiap kabupaten (bupati, Kepala Bappeda, Kepala Dinas Pendidikan, para kabid, budayawan/pegiat bahasa daerah, MGMP, dan lainnya).
Tujuan rakor tersebut ialah membangun kesepahaman, komitmen, dan kesepakatan bersama untuk mengembalikan fungsi-fungsi bahasa daerah Kaili, Pamona, Banggai, dan Saluan melalui program MB-17 RBD. Komitmen dalam pelaksanaan RBD, apa yang akan kita laksanakan, oleh Balai Bahasa oleh pemerintah setempat.
“Rakor yang berlangsung dua hari ini (16-17/03) merupakan tahapan awal pelaksanaan program MB-17 RBD. Usai rakor ini akan dilanjutkan dengan kegiatan penyusunan model pembelajaran bahasa daerah, pelatihan guru utama, pengimbasan, festival tunas bahasa ibu tingkat kabupaten, festival tunas bahasa ibu tingkat provinsi, dan kemah penulisan cerpen berbahasa daerah,” tutup Asrif.
Reporter : Iker
Editor : Rifay