PALU – Penasehat hukum terdakwa kasus dugaan korupsi kerja sama bisnis antara Bank Sulteng dan PT Bina Artha Prima (BAP), Abdul Rahmat Haris, meminta majelis hakim untuk menolak dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Hal itu diungkap dalam nota keberatan atau eksepsi terhadap dakwaan JPU tyang dibacakan penasehat hukum, Kamis (20/07).

Menurut Muhammad Nursalam, selaku penasehat hukum Abdul Rahmat Haris, dakwaan yang diajukan JPU kabur, tidak cermat dan hanya menyalin ulang.

Selain itu, perhitungan kerugian negara juga tidak jelas, tidak memenuhi unsur nyata dan pasti, karena fakta yang terungkap kerjasama dengan PT BAP malah mendatangkan keuntungan bagi Bank Sulteng.

“Ini jelas tidak sesuai surat edaran Kejaksaan Agung nomor B-108/E/EJP/02/2008 tertanggal 4 Februari 2008. Sehingga sudah sepatutnya majelis hakim menolak atau tidak menerima dakwaan JPU,” katanya.

lanjut dia, dakwaan JPU juga tidak jelas atau kabur, karena dalam kerjasama antara Bank Sulteng dan PT BAP tidak ditemukan unsur melawan hukum secara pidana, karena dasarnya adalah kerjasama yang bersifat perdata.

“Kerja sama ini didasarkan pada perjanjian bisnis antara kedua belah pihak, perjanjian berjalan dan didasarkan pada prestasi. Hal tersebut terlihat dari hasil kerjasama ini, Bank Sulteng mendapatkan nasabah debitur pensiun dan keuntungan berupa pendapatan dari perjanjian kredit. Kerugiannya di mana?” ujar Nursalam.

Dia menegaskan, debitur atau nasabah dengan latar belakang pensiun yang melakukan perikatan perjanjian kredit dengan Bank Sulteng hingga saat ini masih terus berjalan, sehingga dakwaan JPU yang menjadikan kerjasama antara Bank Sulteng dan PT BAP sebagai dasar perkara dinilai tidak tepat.

Di sisi lain, lanjut dia, terkait dengan terjadinya kerugian negara seperti yang dipaparkan oleh JPU dalam surat dakwaannya, penasehat hukum Rahmat Abdul Haris mengemukakan kalau dalam periode waktu Rahmat Haris sebagai direktur utama yakni 2013-2021, Bank Sulteng selalu mendapat predikat penilaian Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kantor Akuntan Publik.

Munculnya hasil audit kerugian keuangan negara pada 22 Agustus 2022 telah mengabaikan hasil audit dari OJK, Kantor Akuntan Publik bahkan hadil audit internal dari Divisi Satuan Kerja Audit Internal (SKAI) yang pada intinya tidak ada permasalahan dari kerjasama tersebut dengan penilaian WTP.

“Adanya kerugian negara yang dipaparkan oleh JPU, kami menilai hanya didasarkan pada asumsi. Padahal penentuan kerugian

negara dalam perkara korupsi harus menganut prinsip nyata dan pasti,” tutur Nursalam.

Penilaian kerugian negara didasarkan hanya pada asumsi terlihat dari adanya kerugian negara yang diasumsikan pada target pendapatan Bank Sulteng setelah bekerjasama dengan PT BAP. Hal ini dinilai tidak tepat, karena bisnis mengalami pasang surut sesuai dengan kondisi target pasar.

“Namanya bisnis, ada target yang ditetapkan. Akan tetapi ada faktor yang menyebabkan target sepenuhnya tidak tercapai. Tapi kalau tetap untung dan perusahaan tidak rugi, maka tidak ada unsur kerugiannya. Apalagi kerugian negara, sudah nyata dan pasti tidak ada,” tegas Nursalam.

Dijelaskan, target yang dimaksud dalam dakwaan yang dijadikan dasar menentukan unsur melawan hukum oleh JPU bersifat kabur karena tidak memiliki landasan hukum. Apalagi tidak terdapat dampak sistemik terhadap kondisi keuangan Bank Sulteng.

Alasannya, karena Bank Sulteng saat itu sudah mendapatkan nasabah yang turut menyumbangkan pendapatan kredit pada perusahaan, berdasarkan pengembangan dan pemasaran produk kredit pensiun dan pra pensiun.

Hal yang tak kalah pentingnya adalah posisi Rahmat Abdul Haris pada saat kerjasama tersebut dijalankan adalah sebagai direktur utama. Di mana, untuk proses telaah dan evaluasi kerjasama dilakukan secara berjenjang dan dibantu oleh jajaran direksi lainnya.

Keputusan terkait pelaksanaan kerjasama antara PT Bank Sulteng dan PT BAP tidak sepnuhnya menjadi kewenangan Rahmat Abdul Haris selaku direktur utama.

Mengacu pada kondisi tersebut dan sesuai dengan yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 600/K/PID/1982 menyebabkan batalnya surat dakwaan tersebut karena kabur. Maka sudah sewajarnya majelis hakim menolak dakwaan Jaksa Penuntut Umum.

“Kami meminta agar majelis hakim menolak atau tidak menerima dakwaan Jaksa Penuntut Umum terhadap Abdul Rahmat Haris, karena dakwaan kabur dan tidak cermat, dakwaan hanya disalin ulang,” pungkas Nursalam.

Sementara itu, majelis hakim yang mengadili perkara ini menunda sidang, untuk agenda selanjutnya membacakan putusan sela terhadap dakwaan Jaksa Penuntut Umum pada Rahmat Abdul Haris yang dijadwalkan pekan depan. *