OLEH: Edi Lukito*

“Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”-Bung Karno.

Selama 78 tahun merdeka, Indonesia telah diterpa berbagai macam permasalahan. Jika sebelum merdeka permasalahannya adalah melawan bangsa lain, sekarang permasalahannya adalah melawan bangsa sendiri. Mulai dari masalah politik G30S PKI yang menghilangkan kekayaan sumber daya manusia bangsa ini. Kemudian permasalahan HAM yang terjadi bertubi-tubi di masa Orde Baru.

Kemudian terjadi krisis moneter parah pada 1998 memaksa Presiden Soeharto mundur. Kemudian masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang terus subur sampai saat ini.

Terakhir, konsekuensi logis dari kemajemukan bangsa ini, munculnya fanatisme kedaerahan, melahirkan konflik yang mengancam disentegrasi. Semua permasalahan tidak boleh didiamkan begitu saja.

Inilah yang dimaksud Bung Karno sebagai perjuangan melawan bangsa sendiri.

Hari ini, ketika tatanan global sudah berubah, permasalahan yang terjadi semakin berat. Persoalan KKN hari ini telah menyentuh ranah kekuasaan kehakiman.

Hakim agung ditahan karena telah melakukan suap putusan. Ada kejadian amoral polisi tembak polisi. Sampai DPR yang semakin bertindak sewenang-wenang dengan membawa embel-embel atas suara rakyat.

Sampai keinginan untuk ingin berpisah dari Indonesia yang disembunyikan, maupun yang lantang disuarakan terdengar dari berbagai penjuru bangsa. Ditambah lagi dengan ancaman iklim yang kian nyata, dan krisis pangan menanti di depan mata.

Perjuangan melawan bangsa sendiri kian sulit. Sekalipun nanti di tahun 2045, saat usia 100 tahun kemerdekaan yang digadang-gadang akan menjadi masa keemasan Indonesia, tidak menjamin Indonesia bersih dari segala permasalahan yang ada. Masa depan lagi-lagi hanya misteri. Tapi, masa depan bisa dirancang sendiri dengan perjuangan.

Perjuangan menyelesaikan masalah-masalah atau meminimilisir akibat dari masalah tersebut. Namun, hal tersebut tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dibutuhkan sinergitas dan persatuan seluruh elemen masyarakat. Sesuai cita-cita pada  sila ke-3 Pancasila dengan tegas menyatakan “Persatuan Indonesia”.

Sehingga perlu untuk memupuk dan terus memperbarui rasa solidaritas, sinergitas, dan persatuan bangsa. Agar eksistensinya terus terjaga.

Ibnu Khaldunz seorang intelektual Islam yang terkenal di bidang sosiologi, politik dan ekonomi memiliki satu konsep tentang solidaritas sosial yang dikenal dengan istilah ashabiyah. Secara etimologis Ashabiyah berasal dari kata ashaba yang berarti mengikat.

Secara fungsional ashabiyah dipahami sebagai solidaritas sosial, dengan titik tekan pada kesadaran, kepaduan, dan persatuan kelompok.

Olehnya hadirnya tenggang rasa/ solidaritas ditengah masyarakat atau anggota kelompok dapat menolak berbagai jiwa-jiwa pertentangan, hingga suatu masyarakat atau negara menjadi lebih besar dan utuh.

Dikatakan Ibnu Khaldun dalam bukunya Muqaddimah, ashabiyah sangat menetukan kemenangan dan keberlangsungan hidup suatu bangsa. Sebaliknya tanpa ashabiyah eksistensi bangsa akan buyar, yang berujung pada disentegrasi sampai kehancuran.

Hal menarik lainnya dari  pemikiran Ibnu Khaldun dalam konsep ini adalah teori pembentukan suatu bangsa. Ia menyatakan bahwa solidaritas sosial itu sangat kuat pada kelompok generasi pertama yang berjuang mendirikan sebuah negara, sehingga negara tersebut berdiri dan diakui keberadaannya. Namun ketika berpindah ke generasi selanjutnya, semangat solidaritas itu perlahan terkikis dan hilang.

Hal inilah yang menurunkan loyalitas masyarakat terhadap pemimpinnya dan ancaman paling mengerikan dari turunnya loyalitas masyarakat terhadap pemimpinnya adalah kehancuran negara atau kelompok tersebut.

Singkatnya, Ibnu Khaldun berpendapat dalam sebuah negara terdapat beberapa generasi yang berperan:

Pertama, generasi perintis, mereka adalah orang-orang yang menghadapi rintangan yang berat dalam membuka jalan berdirinya suatu negara, sehingga memaksa mereka untuk menyatukan kekuatan, mengeratkan solidaritas kemudian menjadi besar. Dengan kekuatan solidaritas itu mereka memperoleh kemenangan bersama dan berhasil mendirikan sebuah negara.

Kedua, generasi pasca perintisan, mereka adalah orang-orang yang diamanahi tanggung jawab besar untuk melanjutkan estafet perjuangan negara yang sudah berdiri. Beda pada generasi kedua ini kemenangan dan kemegahan tidak lagi menjadi milik bersama seperti generasi pertama, namun dimonopoli oleh orang-orang tertentu, di sinilah solidaritas mulai tergerus.

Walau demikian, generasi kedua ini masih memiliki sisa peninggalan dari generasi pertama, karena mereka masih sempat bertemu, olehnya semangat perjuangan masih terjaga.

Ketiga, generasi penikmat, mereka adalah orang-orang yang menikmati hasil dari perjuangan nenek moyangnya dalam mendirikan sebuah organisasi negara. Mereka hanya bisa merasakan kenikmatan dari hadirnya negara, tanpa tahu bagaimana cara memperolehnya.

Akhirnya menurut Ibnu Khaldun generasi ini akan tenggelam dengan kemewahan dan kesenangan tanpa peduli pada kausa atau akibat yang terjadi. Pada generasi inilah mulai timbul banyak konflik dan krisis multidimensional yang menyebabkan negara yang telah dibangun tadi, mundur.

Berangkat dari ketiga hal tadi,  menggambarkan bahwa dinamika atau eksistensi sebuah negara menurut Ibnu Khaldun tidak melebihi dari tiga generasi. Namun, tidak diketahui secara pasti waktu batasan setiap generasi tersebut.

Jelasnya eksistensi sebuah negara bisa jadi lebih pendek ataupun lebih panjang, tergantung seberapa kuat dan lama mereka memelihara ashabiyah/solidaritasnya.

Apabila melihat realitas bangsa Indonesia, perjuangan para pendiri bangsa ini sangat erat dengan persatuan. Menyatukan orang-orang yang beragam suku, wilayah, dan bahasa menjadi satu dalam naungan Indonesia. Juga sangat perlu di apresiasi, persatuan itu bukan hanya dari dua, tiga suku dan kabilah.

Namun, yang tersatukan itu adalah ribuan suku bangsa dari ribuan pulau yang berbeda. Semangat persatuan seperti itu yang harus terus menerus dipupuk di setiap generasi.

Saat ini kita telah berada pada generasi kedua. Melihat masih ada beberapa elit bangsa ini yang bertemu langsung dengan para pendiri bangsa (orang-orang di generasi pertama). Menjadi sesuai pula, ketika Ibnu Khaldun menyatakan pada generasi kedua kemenangan dan kekayaan yang ada, dimonopoli oleh orang-orang tertentu tidak lagi menjadi milik bersama. Sehingga semangat persatuan mulai terkikis.

Kemudian, pasti negara ini akan sampai pada generasi ketiga yang hanya menjadi penikmat dari segala hal yang sudah diraih.

Menurut Ibnu Khaldun, generasi merupakan generasi rentan pada kehancuran dan kemunduran. Sebab orang-orang pada generasi sudah terlena dengan kenikmatan yang sudah ada, fokus memperkaya diri sendiri dan keluarganya. Sehingga semangat persatuan hilang total. Tentunya hal ini tidak diinginkan oleh kita semua.

Oleh karena itu, merancang masa depan dengan terus memupuk semangat persatuan menjadi hal wajib. Dalam praktiknya tentu tidak mudah. Terlebih dengan realitas kemajemukan Indonesia, dan efek kemajuan zaman yang semakin melalaikan setiap generasi dari rasa solidaritas.

Lebih parah lagi ketika tiba pemilihan umum, presiden, dan kepala daerah, polarisasi masyrakat selalu muncul.

Hal-hal itu semakin mendukung teori ashabiyah Ibnu Khaldun, yang menurutnya semakin generasi bangsa itu maju, maka semakin dekat pula pada kehancuran.

Namun, kita harus menjadi antitesis teori itu, dengan tidak terlena dengan segala kemajuan yang telah diraih serta tetap menjaga persatuan. Sebab, “Utang kita adalah tetap menjaga Indonesia. Titik!”

*Penulis adalah Mahasiswa Universitas Al-Azhar Kairo