Tertipu Waktu

oleh -
Ilustrasi. (Youtube/Ferry Channel)

Sadar atau tidak, waktu berjalan tanpa ampun. Dia telah menggilas detik demi detik, dari menit ke menit sehingga hidup kita berlalu tanpa disadari maknanya.

Waktu yang berlalu begitu pantas menipu kita yang terlena. Belum sempat berdzikir di waktu pagi, hari sudah menjelang siang, belum sempat bersedekah pagi, matahari sudah meninggi.

Niat pukul 09.00 pagi hendak shalat Dhuha, tiba-tiba adzan Dhuhur sudah terdengar. Keinginan kuat saban pagi membaca 1 juz Al Quran, manambah hafalan 1 hari 1 ayat, itupun tidak dilakukan. Rencana untuk tidak melewatkan malam kecuali dengan tahajud dan witir, walaupun hanya 3 rakaat, semua tinggal khayalan belaka.

Beginikah seterusnya nasib hidup menghabiskan usia lalu menjelmalah di angka 30, sebentar kemudian 40, tidak lama terasa menjadi 50 dan kemudian orang mulai memanggil kita dengan panggilan kakek, nenek yang menandakan kita sudah tua.

Lalu sambil menunggu sakaratul maut tiba, diperlihatkan catatan amal yang pernah kita buat. Dan, Astaghfirullah, ternyata tidak seberapa sedekah dan infaq yang cuma sekedarnya, mengajarkan ilmu tidak pernah ada, silaturahim tidak pernah dibuat.

Maka, apakah roh ini tidak akan melolong, meraung, menjerit menahan kesakitan di saat berpisah daripada tubuh seketika sakaratul maut?

Oleh karena itu, kita harus memanfaatkan setiap detik dalam kehidupan kita di dunia ini dengan amal-amal kebaikan. Kita harus bersemangat untuk beramal yang sebanyak-banyaknya di dunia ini.

Sangat tidak tepat jika yang justru dominan dalam diri kita adalah sifat malas, hura-hura, suka kemaksiatan dan hal-hal lain yang tidak produktif serta tidak memberi nilai kemanfaatan apapun untuk masa depan kehidupan kita.

Terlebih lagi di era di mana roda kehidupan berputar sangat cepat, penuh dengan trik dan intrik negatif, godaan kehidupan serta budaya materialisme dan hedonisme yang semakin menggiurkan. Semua itu sangat berpotensi melalaikan seseorang dari tujuan hidupnya yang hakiki.

Rasulullah SAW bersabda, ”Di antara tanda kebaikan keislaman seseorang adalah jika ia mampu meninggalkan hal-hal yang tidak memberi manfaat kepadanya.” (HR Tirmidzi).

Seorang muslim ideal adalah yang sikap hidupnya berorientasi pada nilai produktivitas dan efektivitas. Dia bukan tipe orang yang malas bekerja, suka berhura-hura, suka berfoya-foya, begadang semalaman tanpa tujuan, kongko-kongko di pinggir jalan, bersenang-senang menghabiskan uang, berbuat sesukanya tanpa larangan, dan seterusnya.

Kita harus memanfaatkan setiap kesempatan dalam hidup ini untuk berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya. Kesempatan adalah sesuatu yang tidak selamanya ada.

Seseorang tidak akan selalu dalam keadaan sehat maupun lapang, gembira dan meraih kesuksesan. Sesekali bahkan seringkali ia harus mengalami kegundahan, kegagalan, kekurangan dan hal-hal lain yang tidak ia harapkan. Itulah gambaran kehidupan dunia.

Selanjutnya tinggal bagaimana sikap kita. Pada saat sehat segeralah melaksanakan hak dan kewajiban. Kita harus beribadah, berkarya dan bekerja sebaik mungkin, berpikir dan berbuat untuk kebaikan diri dan orang lain. Kita juga harus menjaga kesehatan kita dengan mengkonsumsi makanan yang baik, berolahraga dan cara-cara lain yang makruf.

Ini kita lakukan agar Allah memberikan kesehatan yang langgeng kepada kita sehingga kita bisa beramal lebih banyak.

Janganlah  membiasakan diri menunda-nunda pekerjaan. Jika suatu pekerjaan bisa dilakukan pada waktu sore, janganlah kita menundanya hingga esok pagi.

Jika suatu pekerjaan bisa dilakukan pada pagi hari, jangan pula kita menundanya hingga sore hari.

Setiap waktu memiliki tuntutan dan haknya masing-masing. Jika kita menunda suatu pekerjaan hingga nanti, maka kita akan mendapati pada waktu nanti itu pekerjaan akan bertumpuk: pekerjaan saat itu dan pekerjaan yang tadinya kita tunda. Jika demikian, apakah kita masih mau menunda sebuah pekerjaan?

Mampung kita masih hidup, maka berdoalah:Tambahkan usiaku ya Allah, aku memerlukan waktu untuk beramal sebelum kau akhiri ajalku. Belum cukupkah kita menyia nyiakan waktu selama 30, 40, 50 atau 60 tahun?

Perlu berapa tahun lagikah untuk mengulang pagi, siang, sore, petang dan malam. Perlu berapa minggu, bulan, dan tahun lagi agar kita bersedia untuk mati?

Kita tidak pernah merasa kehilangan waktu dan kesempatan untuk menghasilkan pahala. Maka 1000 tahun pun tidak akan pernah cukup bagi orang orang yang terlena dan berleha-leha. Wallahu a’lam

DARLIS MUHAMMAD (REDAKTUR SENIOR MEDIA ALKHAIRAAT)