PALU – Dewan Pertukangan Nasional Sulawesi Tengah (DPN Sulteng) menanggapi keras aksi unjuk rasa yang digelar oleh sekelompok mahasiswa yang tergabung dalam BEM Nusantara Sulteng, Senin (14/7), di depan Polda Sulteng.
Aksi yang menyuarakan penghentian total aktivitas tambang rakyat di Poboya dinilai sebagai bentuk ketidakpekaan terhadap realitas sosial ekonomi masyarakat kecil yang menggantungkan hidupnya dari sisa-sisa tanah leluhur mereka.
Ketua DPN Sulteng, Andri Gultom, menyatakan dengan tegas bahwa gerakan yang dilabeli “pro-lingkungan” ini telah melukai hati ribuan keluarga penambang rakyat yang hidupnya sedang bertaruh setiap hari di lubang-lubang emas, bukan untuk kemewahan, tapi untuk makan dan sekolah anak-anak mereka.
“Saya ingin bertanya kepada adik-adik mahasiswa dan aktivis JATAM: saat kalian teriak-teriak menutup tambang, apakah kalian pernah turun langsung ke dapur para penambang? Pernahkah kalian melihat anak-anak mereka belajar di bawah lampu minyak karena ayah mereka dituduh penjahat tambang? Jangan atas nama idealisme, justru akan menjadi alat kepentingan pemodal besar yang ingin merebut tanah itu,” tegas Andri.
Menurutnya, penambang rakyat bukanlah musuh hukum atau lingkungan, melainkan korban dari sistem yang abai dan regulasi yang tak berpihak. Alih-alih diberangus, mereka justru perlu dilindungi, dibina, dan difasilitasi legalitasnya.
“Stop mengkambinghitamkan rakyat kecil. Jika kalian benar-benar peduli lingkungan, mulai dari perusahaan besar. Jangan hanya berani pada yang tak punya daya, tapi diam pada yang punya kuasa,” ujarnya lantang.
DPN Sulteng juga meminta aparat penegak hukum untuk tidak gegabah dalam merespons desakan sepihak, apalagi dari gerakan yang tak berdialog dengan masyarakat yang terdampak langsung.
Andri menambahkan, DPN akan terus memperjuangkan legalitas dan ruang hidup yang adil bagi penambang rakyat. Bagi DPN, suara rakyat di tanahnya sendiri lebih mulia daripada teriakan teori dari balik meja.
“Jangan ganggu penambang rakyat. Mereka bukan penjahat. Mereka adalah wajah asli perjuangan orang-orang jujur yang dipaksa bertahan hidup di tengah kebijakan yang tak berpihak,” tutup Andri.***