PALU – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas-HAM) RI melakukan konsultasi publik draft Standar Norma dan Pengaturan (SNP) tentang Hak Atas Pekerjaan yang Layak, di Palu, Kamis-Jumat (15-16/08).
Konsultasi publik tersebut dalam rangka menampung masukan dari sejumlah pihak terkait, baik dari kalangan disabilitas, jurnalis, organisasi masyarakat sipil, OPD di lingkup Provinsi Sulteng dan kabupaten/kota, akademisi dan pelaku usaha/korporasi.
Kegiatan dihadiri Komisioner Komnas HAM RI, Anis Hidayah dan Hari Kurniawan, Penulis sekaligus Akademisi dari Universitas Padjajaran, dan Kepala Kantor Perwakilan Komnas-HAM Sulteng, Dedy Askary.
Komisioner Komnas HAM RI, Anis Hidayah, mengatakan, kondisi ketenagakerjaan saat ini, baik dalam aspek kebijakan maupun penyediaan lapangan pekerjaan, belum juga membaik. Berbagai kebijakan disusun terbukti untuk melayani investasi melalui berbagai kemudahan perizinan usaha dan relaksasi sektor ketenagakerjaan, seperti UU tentang Cipta Kerja.
“Gelombang PHK menunjukan angka yang cukup mengkhawatirkan di berbagai wilayah. Kondisi ini tentu saja menimbulkan kekhawatiran di tengah-tengah limpahan bonus demografi usia produktif dimana pada tahun 2024 teridentifikasi sepuluh juta gen Z merupakan pengangguran,” katanya.
Lanjut dia, situasi ketenagakerjaan saat ini masih rentan terhadap berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Seperti masih banyaknya kasus PHK sewenang-wenang, gaji tidak dibayar, ketidakjelasan status pekerja, larangan pembentukan serikat pekerja, tenaga alih daya atau outsourcing, mutasi sewenang-wenang, akses pekerjaan bagi disabilitas, kerentanan pekerja perempuan pada kekerasan berbasis gender termasuk TPKS, serta kriminalisasi terhadap buruh terkait tuntutan hak-hak normatif mereka.
Sepanjang 2021-2024, kata dia, Komnas-HAM telah menerima pengaduan terkait ketenagakerjaan, baik buruh di dalam negeri maupun pekerja migran Indonesia di luar negeri sebanyak 610 aduan dengan rincian 177 (2020), 192 (2021), 170 (2022), 182 (2023), 43 (sampai Maret 2024).
Menurutnya, mayoritas kasus yang diadukan adalah tidak dibayarkan upah dan tunjangan sebanyak 277 kasus, PHK sewenang-wenang sebanyak 181 kasus, ketidakjelasan status pekerja sebanyak 31 kasus, union busting 26 kasus, penurunan pangkat dan mutasi sewenang-wenang sebanyak 17 kasus.
“Kemudian larangan pembentukan serikat pekerja sebanyak 9 kasus, dan lain-lain sebanyak 38 kasus. Pihak yang paling banyak diadukan adalah korporasi dan pemerintah pusat,” ungkapnya.
Mempertimbangkan kondisi-kondisi tersebut, lanjut dia, Komnas HAM berdasar pada kewenangan dalam Pasal 89 UU Nomor:39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, menilai penting untuk menyusun SNP tentang Hak Atas Pekerjaan yang Layak.
“SNP ini dimaksudkan agar penyelenggara negara memastikan tidak ada regulasi, kebijakan dan tindakan yang bertentangan dengan HAM, sejak perencanaan, pengaturan dan pelaksanaan serta memastikan proses hukum dan pemberian sanksi bagi pelaku atas tindakan yang melanggar HAM,” jelasnya.
Selain itu, lajut Anis, bagi penegak hukum, agar dalam melakukan tindakan penegakan hukum, ataupun pertimbangan dalam putusan memastikan adanya perlindungan hukum dan HAM serta berkeadilan. Sedangkan bagi korporasi/swasta, untuk membangun akuntabilitas dan menghormati HAM, menghindari perlakuan yang melanggar HAM, memastikan patuh atas penyelesaian yang adil dan layak dan menyediakan akses pemulihan atas tindakan yang melanggar HAM.
“Bagi Individu, masyarakat dan organisasi kemasyarakatan, untuk membangun pengertian dan pemahaman mengenai hal/tindakan yang melanggar norma HAM sehingga ada proses untuk memastikan perlindungan dan penikmatan hak asasi manusia serta dapat dijadikan dasar dalam upaya pembelaan terhadap individu, masyarakat dan organisasi kemasyarakatan dalam menegakan HAM,” ujarnya.
Saat ini, kata dia, SNP Hak Atas Pekerjaan yang Layak sedang memasuki tahap konsultasi publik di beberapa daerah, termasuk di Sulawesi Tengah. Konsultasi Publik juga dilakukan secara online di web Komnas HAM.
Di tempat yang sama, Kepala kantor Perwakilan Komnas Ham Sulteng, Dedy Askary, mengungkapkan, berdasarkan aduan yang diterima Komnas HAM Perwakilan Sulteng, terdapat kasus PHK sebanyak 1812 pekerja di Sulteng.
“Pada semester 1 atau hingga Juni 2024 mencapai 32.064 PHK di seluruh Provinsi Sulawesi Tengah. Kemudian kasus terkait K3 terdapat 59 seperti kasus di PT ITSS, PT SMI, PT IMIP dan PT GMI. Kematian tenaga kerja sebanyak 21, pemotongan gaji sejumlah 3 kasus, serta perlakuan tidak adil (pelarangan sholat, fasilitas dan gaji) sebanyak 3 kasus,” ungkapnya.
Kata Dedy. dibukanya wilayah Morowali sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) yang mampu menampung ribuan tenaga kerja baru, juga mendapatkan tantangan baru yaitu belum adanya kepastian K3, kesenjangan antara pekerja lokal dengan pekerja asing, dan juga persoalan dengan lingkungan hidup. (RIFAY)