OLEH: Jamrin Abubakar*
PADA saat CEO Tesla Motors, Elon Musk memakai kemeja batik bermotif bomba pada acara KTT G20, media pun ramai dibicarakan. Pada acara yang dipandu Anindiya Bakrie (Ketua Dewan Pertimbangan KADIN Indonesia) secara zoom itu, diperkenalkan bahwa baju yang dipakai Elon berasal Sulawesi Tengah.
Sebuah promosi global ketika pakaian dikenakan seorang tokoh besar yang seketika menjadi buah bibir, meskipun yang kenalkan hanya motifnya, bukan tenunnya. Intinya, yang dipakai Musk bukan kain tenun, tapi sesungguhnya nilai budayanya yang berasal dari motif tenun Donggala. Begitulah kreasi budaya saling bertransformasi.
“Tenun yang punya motif, tapi batik yang punya nama dan dana.” Artinya, industri batik sudah mendunia melalui dukungan industri kapitalisme dengan mengambil berbagai motif tenun Nusantara, sedangkan tenun itu sendiri masih tertinggal karena kurang dukungan politik budaya. Salah satunya tenun Donggala.
Secara historis tenun merupakan salah satu cara pembuatan kain tradisional yang telah menyatu dalam kebudayaan Nusantara.
Proses pembuatannya saling memengaruhi antara daerah maupun dengan bangsa-bangsa lain melalui akulturasi. Masing-masing menjadikan suatu hasil kreativitas kebudayaan sesuai nama dan potensi etnis yang menekuni kerajinan ini.
Sarung Donggala salah satunya produk kain yang ditenun dengan alat tradisional. Pembuatannya secara sederhana dengan peralatan disebut gedogan berbahan kayu hitam (eboni), kayu biasa dan bambu.
Pengrajin atau penenun saat mengolah benang menjadi sarung dengan cara berselonjor bagi alat gedogan. Alat lainnya yang agak modern disebut ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) dan satunya disebut alat jaguar. Proses pembuatan dengan alat moderen tentunya lebih cepat dan praktis dengan hasil kain harganya lebih murah dibanding tradisional.
Secara etimologi, kain sarung Donggala dalam bahasa Kaili biasa disebut Buya Sabe, artinya sarung sutra sesuai sejarahnya.
Meskipun saat ini umumnya tidak semua menggunakan benang sutra seperti zaman dahulu, tetapi namanya tetap buya sabe. Bahan baku sarung saat ini lebih banyak digunakan benang katun atau sintetis yang disediakan toko khusus benang tenun dari Surabaya melalui agen khusus di Kota Palu.
Berdasarkan pembuatan dan corak atau motif kain tenun Donggala cukup banyak. Paling terkenal disebut Buya Bomba yang artinya kain bermotif bunga atau ragam hias. Bisa berupa bunga tanaman atau bunga hiasan benda-benda karya seni.
Buya bomba ini pun terbagi-bagi lagi dalam beberapa jenis seperti bunga daun keladi, bunga kotak-kotak, pohon beringin, bunga merayap, bunga terapung (teratai), bunga pengantin, bunga pohon kayi dan lain-lain.
Jenis corak lainnya ada disebut, buya Subi buya awi, buya kota-kota atau kombinasi di antara jenis tersebut. Selain itu bunga dapat pula dimaknai sebagai bentuk ragam hias.
Kain Donggala yang begitu dikenal dan dipertahankan masyarakat berlangsung selama berabad-abad lamanya. Telah menjadi salah satu kebanggaan Sulawesi Tengah, khususnya masyarakat di wilayah Kabupaten Donggala.
Sampai saat ini pegrajin terbanyak terdapat di Kecamatan Banawa Tengah (Towale, Mekar Baru, Salubomba, Kola-Kola, Lumbudolo, dan Limboro), Kecamatan Labuan dan Kecamatan Tanantovea (Wani). Sebagian terdapat di Kota Palu khusus yang memakai alat modern ATBM.
Dari beberapa tempat tersebut, terbanyak berada di Desa Towale. Sejak zaman dahulu sampai sekarang secara turun-temurun di dalam tubuh masing-masing orang di Desa Towale itu mengalir “darah” tenun yang kuat tak terpisahkan dari kehidupannya.
Di Desa Towale mayoritas penduduknya pernah bersentuhan dengan urusan tenun. Banyak keluarga berhasil menyekolahkan anak-anak hingga berhasil itu dibiayai dari keterampilan menenun.
Kalaupun kemudian tidak semua warga meneruskan tradisi itu, setidaknya mereka memiiki memori yang baik tentang tenun di desanya. Bila kemudian ada yang tidak memahami atau sama sekali tidak mengetahui tradisi itu berarti orang dari luar.
Secara budaya zaman kerajaan dahulu, kain sutra hanya diperuntukkan dalam bentuk sarung. Semula peruntukannya terbatas pada kalangan bangsawan dan orang-orang kaya dan sebagian dikirim untuk diperdagangkan. Tetapi sekarang ini telah dikembangkan untuk berbagai asesoris atau hiasan berupa kipas, tas dan dibuat untuk jas, kemeja, selendang, ikat kepala (siga) dan lainnya.
Keberadaan sarung Donggala selama berabad-abad menunjukkan suatu peradaban cukup tinggi bagi pengrajinnya. Mampu menghasilkan karya bernilai seni dengan peralatan dan ilmu pengetahuan cukup tinggi hasil kreasi yang diadaptasi dari suku-suku Nusantara.
Dalam proses pembuatannya telah teradaptasi dengan bangsa-bangsa luar seperti Cina, India dan Arab dalam penggunaan bahan baku. Sebab semula kain tenun Donggala berbahan kapas kemudian menggunakan benang sutra setelah ada pengaruh dari bangsa-bangsa tersebut di atas.
Sejak tahun 2000-an motif-motif kain tenun Donggala khususnya Buya Bomba telah ditransformasi ke dalam hiasan (motif) pembuatan kain batik. Artinya beberapa kain batik memakai motif yang ada di kain tenun Donggala kemudian dikenal batik bomba.
Sebagai warisan budaya yang memiliki ciri khas, maka pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI tahun 2015 telah menetapkan kain tenun Donggala sebagai Warisan Budaya Tak Benda.
Penetapan tersebut dengan nomor registrasi 90494/MPK.E/DO/2015 dalam kategori kemahiran dan kerajinan tradisional ditetapkan di Jakarta, 20 Oktober 2015 dan ditandatangani Anies Baswedan saat menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI.
*Penulis adalah Pemerhati Sejarah dan Budaya/Wartawan Senior Media Alkhairaat