Teladan Hidup dari Pemulung Tua

oleh -
Nenek Suhermin saat mendorong sepeda ontelnya. (FOTO: MAL/IKRAM)

Sabtu (02/03) senja, saat surya mulai masuk ke peraduannya, di depan salah satu swalayan di Jalan Pue Bongo, Kelurahan Boyaoge, Kecamatan Tatanga, tergolek sesosok wanita tua tanpa beralas tikar, tengah mendengkur.

Tanpa peduli banyaknya lalu lintas yang kadang memekakkan telinga dan seliweran orang-orang singgah berbelanja di swalayan tersebut, sang nenek nampak asyik menikmati tidurnya, seolah ia tengah tidur di atas permadani indah yang dikelilingi dayang-dayang.

Nampaknya karena letih, setelah seharian berjalan menyelusuri jalan, mengamati setiap sudut dan tempat, lalu memungut botol plastik atau gelas air mineral, sehingga ia begitu nyenyak menikmati tidurnya.

Dialah Suhermin, wanita asal Surabaya, Jawa Timur, kelahiran tahun 1946 silam. Di usianya yang tak lagi muda ternyata tak menjadikannya diam mengharap belas kasih pemberian orang lain.

Sejak ditinggal suaminya tahun 2000, maka memungut sampah plastik pun terpaksa dilakoni dan menjadi pekerjaan ritun sehari-hari.

BACA JUGA :  Pasangan BERANI akan Prioritaskan Akses Jalan Menuju Lalundu

Kepada media ini, Nenek Suhermin menceritakan kehidupan, sembari mengenang masa muda, hingga bisa sampai di Desa Binangga, Kabupaten Sigi, kampung suaminya.

“Tahun 1980 saya tiba di Pelabuhan Donggala. Di tempat itu saya kenal seorang lelaki asal Desa Binangga,” kisahnya.

Lelaki tersebut lalu menikahkan dirinya dengan pamannya yang telah berumur 80 tahun.

Waktu dinikahkan itu, dirinya baru berumur sekitar 35 tahun.

Namun pernikahan itu tak berumur panjang, hanya sekitar 6 bulan. Suaminya dipanggil kehariban Allah SWT, sebelum sempat dikaruniai anak.

Praktis, segala kebutuhan hidupnya yang biasanya ditanggung sang suami, kini semua harus dipenuhinya sendiri, demi tetap bisa bertahan hidup.

BACA JUGA :  Anwar Hafid: Rakyat Tidak Butuh Pemekaran, Tapi Pelayanan yang Mudah dan Cepat

Ditambah tidak adanya bekal keterampilan, maka mencari limbah plastik adalah solusi yang tepat baginya. Sebab pekerjaan itu tidak membutuhkan keahlian, melainkan hanya segumpal kemauan dan tahan malu.

Berbekal sebuah sepeda ontel pemberian dari orang yang iba padanya, maka dengan dua karung berukuran 100 kilogram, dia pun mulai menjajal jalanan dari rumah tempat tinggalnya di Desa Binangga, Kecamatan Marawola menuju Kota Palu yang berjarak sekitar delapan kilometer.

Keluarnya pun kadang pagi hari, ada kalanya sore. Tergantung dari situasi dan kondisi. Bahkan tak jarang dia tak pulang rumah. Garasi kosong di seputaran Jalan Pue Bongo, menjadi peraduan sementara menanti pagi.

BACA JUGA :  Pahlawan yang Sesungguhnya

Bila dua karung bawaannya telah terisi penuh, barulah dia kembali ke rumahnya.

Sampai di rumah, sampah plastik itu kembali dipilah berdasarkan jenisnya.

Bila sudah mencapai belasan karung, barulah dibawa ke tempat pengepul.

“Kalau sudah 11 karung baru dijual menyewa mobil dengan upah Rp 50 ribu. Untuk apa malu kan mencari sampah plastik ini halal. Siapa mau kasih uang kalau tidak kerja,” tegasnya.

Dari hasil penjualan tersebut, dia biasa mendapat uang Rp150 ribu, setelah dipotong Rp50 ribu untuk sewa mobil.

Uang Rp150 ribu itulah yang dipakai menopang hidupnya sendiri. Entah kapan? Sampai Sang Maha Pencipta lah yang tahu. (IKRAM)