SEORANG wanita menggunakan dress berwarna merah muda berdiri di tengah dikelilingi kerumunan. Pada tubuhnya, dililitkan tali rafia. Pada ujung-ujung tali rafia dipegangi oleh mereka yang mengelilinginya, lilitan-lilitan tersebut terus bertambah. Tiap lilitan mengandung makna simbol perlawanan atas ketidakadilan menimpa.

Wanita berdiri di tengah kerumunan tersebut diibaratkan Marsinah, seorang buruh wanita bekerja di sebuah pabrik arloji perusahaan PT Catur Putra Surya di Sidoarjo menuntut 12 hak-hak mereka sebagai buruh diantaranya kenaikan upah, lembur, pemberian tunjangan jabatan, penghapusan sistem kerja kontrak,tidak ada pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak.

Namun aksi tuntutannya, menjadi akhir hidupnya. Jasadnya ditemukan sangat mengenaskan dipenuhi luka-luka, lebam dan pada beberapa bagian tubuhnya parah-patah, alat vitalnya pun tidak lepas dari sasaran perbuatan keji. Hasil autopsi dokter forensik terdapat luka disebabkan proyektil dari senjata api.

Sungguh tragis dan keji, nyawanya melayang dalam perjuangan. Meski kini jasadnya telah tiada namun ruh perjuangannya tetap menyala dan melekat pada hati, pikiran dan jiwa mereka-mereka gigih melawan ketidakadilan serta ketimpangan dalam segala lini kehidupan.

Marsinah arloji sejati, agar perjuangannya tidak sia-sia, Richard F Labiro dari fraksi aksi bersih-bersih mengatakan tumbangkan sistem sudah oligarki, sistem yang korup, lawan semua penindasan dan eksploitasi yang ada, agar Marsinah tidak mati sia-sia.

“Kami, aku dan kita semua bersama Marsinah, Hidup Marsinah, mari kita peluk sama-sama Marsinah kawan-kawan kita terlibat dalam perjuangan ini,” katanya.

Aksi penuh dramatisasi, menggugah emosi, menyayat kalbu, mengharu biru perasaan, hanyut larut dalam suasana sedih. Demikian aksi teatrikal dari Perempuan Mahardika Palu, pilu dalam panggung ekspresi di Rumah Perlawanan, JATAM Sulteng, Jalan Yojokodi, Kota Palu , Jumat (9/5).

Sebelum aksi teatrikal, lebih dulu dilakukan pemutaran film dokumenter Marsinah. Lalu dilanjut satu persatu secara bergantian perwakilan NGO, mahasiswa membacakan puisi, bernyanyi dan orasi diantaranya, Yogi Aksi Kamisan, Anggun dan Moa (Perempuan Mahardhika), Siti Nurazizah (BEM Fisip Untad Palu), Hera, Kiki, Amerta (Perempuan Mahardhika), Orasi Fadil Himap

Ketua Panitia Stevi Papuling mengatakan,panggung ekspresi ini sebagai refleksi perjuangan Marsinah sejak kematiannya 1993 belum mendapatkan haknya dan pembunuhnya belum terungkap.

“Sudah 32 tahun berlalu,Marsinah tidak pernah di berikan haknya sebagai buruh perempuan, dan pelaku pembunuhan belum tersingkap,bagi kami Marsinah tetap hidup,”katanya.

Bagi pihaknya, Marsinah tidak butuh gelar sebagai pahlawan, dan menolak Soeharto sebagai pahlawan di Indonesia.

“Bagi masyarakat tetap melawan dapat dilakukan melalui berbagai ruang ekapresi seni, melawan segala bentuk penindasan ataupun membungkam ruang-ruang selama ini di dukung aparat membungkam masyarakat tapak,mahasiswa dan gerakan perempuan yang berjuang sebagai manusia,”ujarnya.

REPORTER : IKRAM