Tarik Ulur Kebijakan Hilirisasi Nikel

oleh -
Proses pengolahan nikel di pabrik PT Vale. (FOTO: HUMAS PT VALE)

Oleh: Mohamad Ahlis Djirimu*

Industrialisasi berbasis logam dasar di Sulteng dalam peleburan nikel (smelter) saat ini dilakukan oleh 43 perusahaan. Dari jumlah tersebut 14 perusahaan berada dalam tahap perencanaan, 18 perusahaan dalam tahap konstruksi, dan 11 perusahaan berada pada tahap produksi. Kapasitas input ore nikel basah pada perusahaan tersebut mencapai 132.294.211 wet metric ton (wmt) per tahun atau proporsinya mencapai 51,89 persen dari kebutuhan input bijih nikel di Tahun 2025 yang diperkirakan mencapai 254.937.590 wmt per tahun. Angka ini melampaui kebutuhan input bijih nikel di Sultra yang hanya mencapai 57.455.537 wmt per tahun dan di Maluku Utara yang kebutuhan input bijih nikel mencapai 50.496.658 wmt per tahun (www.apni.or.id, 2023).

Peluang industri pengolahan berbahan dasar nikel ini berada pada semua lini rantai pasok enam tingkat tadi. Kerjasama di hulu dan hilir akan menjadi kekuatan dalam kebijakan industrialisasi berbasis nikel di Provinsi Sulteng.

Pasal 95 huruf c Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba menyebutkan bahwa Pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara. Selanjutnya, Pasal 103 ayat 1 menyebutkan bahwa Pemegang Kontrak Karya yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan. Turunan dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tersebut adalah Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba pada Pasal 93 menyebutkan bahwa Pemegang Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK OP) mineral wajib melakukan pengolahan dan/atau pemurnian untuk meningkatkan nilai tambah mineral yang diproduksi, baik secara langsung maupun melalui kerja sama dengan perusahaan, pemegang IUP dan IUPK lainnya. Pada Pasal 95 ayat 3 menyebutkan bahwa peningkatan nilai tambah mineral logam dilaksanakan melalui kegiatan pengolahan logam atau pemurnian logam.

Selanjutnya, terjadi beberapa perubahan regulasi yakni dari Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba yang dilanjutkan oleh munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tersebut menyatakan pada Pasal 112C menyebutkan bahwa Pemegang Kontrak Karya (KK) yang melakukan kegiatan penambangan mineral logam dan telah melakukan kegiatan pemurnian, dapat melakukan penjualan ke luar negeri dalam jumlah tertentu; Pemegang IUP OP yang melakukan kegiatan penambangan mineral logam dan telah melakukan kegiatan pengolahan, dapat melakukan penjualan ke luar negeri dalam jumlah tertentu. Lalu dalam regulasi turunan yakni Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2014 Pasal 12 menyebutkan bahwa Pemegang KK Mineral Logam dan IUP OP Mineral Logam sebagaimana dimaksud dalam PP 1/2014 ayat 112C, dapat melakukan penjualan ke luar negeri dalam jumlah tertentu hasil pengolahan; Pemegang KK Mineral Logam dan IUP OP Mineral Logam sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan 3, setelah jangka waktu 3 tahun sejak diundangkannya Peraturan Menteri ini, hanya dapat menjual ke luar negeri hasil produksi yang telah dilakukan pemurnian sesuai dengan batasan minimum pemurnian.

Selanjutnya, Pemerintah mengeluarkan regulasi yakni Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba. Regulasi ini tidak terjadi perubahan substantif. Lalu muncul Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba. Pasal 112F menyebutkan Pihak yang membangun fasilitas pemurnian di dalam negeri wajib memanfaatkan mineral logam dengan kriteria tertentu. Turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 adalah Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2017 pada Pasal 10 menyebutkan (1) Perusahaan yang melakukan pengolahan dan/atau pemurnian nikel wajib memanfaatkan nikel dengan kadar <1,7 persen sekurang-kurangnya 30 persen; (2) Dalam hal pemanfaatan nikel dengan kadar <1,7 persen telah terpenuhi, pemegang IUP OP nikel dan IUPK OP nikel dapat melakukan penjualan nikel dengan kadar <1,7 persen ke luar negeri dalam jumlah tertentu paling lama 5 (lima) tahun sejak berlakunya Peraturan Menteri ini; (3) Perusahaan yang melakukan pengolahan dan/atau pemurnian bauksit dapat melakukan penjualan bauksit yang telah dilakukan pencucian (washed bauxite) dengan kadar Al2O3 > 42 persen ke luar negeri dalam jumlah tertentu paling lama 5 (lima) tahun sejak berlakunya Peraturan Menteri ini.

Selama periode 2009 hingga 2014, implementasi hilirisasi melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba memunculkan empat Peraturan Pemerintah (PP) yakni PP Nomor 23 Tahun 2010, PP Nomor 52 Tahun 2011, PP Nomor 24 Tahun 2011 dan PP Nomor 1 Tahun 2014. Sedangkan turunan PP di atas terdiri dari tujuh Peraturan Menteri yakni Permendag Nomor 29 Tahun 2012, Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2012, Permenkeu Nomor 75/PMK.011/2012, Permen ESDM Nomor 7 Tahun 2012, Permen ESDM Nomor 20 Tahun 2013, Permen ESDM Nomor 1 Tahun 2014, serta Permenkeu Nomor 06/PMK.011/2014. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi koordinasi antar kementrian dalam pelaksanaan hilirisasi belum berjalan sesuai harapan.

Pada periode 2014-2022, terdapat dua PP yakni Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017. Adapun turunannya mencakup enam Peraturan Menteri ESDM dan 1 Keputusan Menteri ESDM yakni Permen ESDM Nomor 8 Tahun 2015, Permen ESDM Nomor 5 Tahun 2017, Permen ESDM Nomor 6 Tahun 2017, Permen ESDM Nomor 25 Tahun 2018, Permen ESDM Nomor 50 Tahun 2018, Kepmen ESDM Nomor 154K/30/MEM/2019 dan Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2019. Pada periode 2014-2017, merupakan periode relaksasi ekspor konsentrat baik Kontrak Karya maupun IUP. Periode 2017-2020 merupakan periode relaksasi ekspor bijih nikel kadar kurang dari 1,7 persen dan bausit yang telah dicuci AI203 lebih dari atau sama dengan 42 persen IUP. Sejak keluarnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba dan Batubara, maka sejak 1 Januari 2020, pemerintah melarang ekspor bijih nikel kadar lebih dari 1,7 persen dari IUP.

Data bersumber dari McKinsey & Company Juni 2020 (www.mckinsey.com/quarterly/the-magazine, 2020) menunjukkan penggunaan nikel untuk baterai memperlihatkan peningkatan proporsi yang sangat signifikan. Konsumsi nikel pada Tahun 2017 hanya berkisar 3 persen dan meningkat drastis menjadi 37 persen pada Tahun 2030. Sedangkan proporsi stainless steel mengalami penurunan dari 71 persen pada Tahun 2017 menjadi  hanya 46 persen pada Tahun 2030. Kebutuhan energi dari baterai akan terus meningkat karena adanya tekanan lingkungan, budaya hemat energi dan perubahan iklim.

Pada 2019, kebutuhan energi untuk elektronik konsumen setara dengan 40 GWh; penyimpanan energi, 7 GWh; dan EV, 171GWh.  persyaratan regional adalah 26 GWh untuk AS, 24 GWh untuk Uni Eropa, 155 GWh untuk Tiongkok dan sisanya 14 GWh; Pertumbuhan permintaan listriregulasi k berbasis baterai isi ulang pada Tahun 2030 sebesar 3.612 GWh, atau meningkat sekitar 32 persen per tahun sesuai dengan data bersumber dari Bloomberg NEF. Data tersebut menunjukkan kandungan logam di katoda baterai jenis kimia; LCO (Lithium Cobalt Oxide); NMC (Lithium Nickel Manganese Cobalt Oxide); NCA (Lithium Nickel Cobalt Alumunium Oxide) meningkat sesuai peningkatan kadar nikel (https://about.bnef.com, 2019)

Pemerintah di Tahun 2019 mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Program Percepatan Kendaraan Listrik Baterai (BEV) untuk Transportasi Jalan. Ekosistem Electric Vehicle (EV) memerlukan pembangunan terpadu di Indonesia. Baterai mewakili 35 persen dari biaya produksi EV. Selanjutnya, 18 persen dari biaya Baterai adalah Nikel dan Cobalt. Dalam konteks, membangun industry 4,0 berbasis BEV, maka diperlukan kolaborasi antara produsen baterai nasional seperti PT Century Battery Indonesia, PT GS Baterai, PT Nipress Energi Otomotif, PT Tri Mega Baterindo, PT Trimitra Baterai Prakasa, PT Yuasa Battery Indonesia, PT Intercallin – Baterai ABC dengan produsen EV nasional yakni PT. Triangle Motorindo (Viar), PT. Juara Bike (Selis), PT. WIMA (Gesit), PT. MIGO Ebike Success, PT. Terang Dunia Internusa (United), PT. Tomara Jaya Perkasa (Tomara), PT. Green City Traffic (ECGO), PT. Volta Indonesia Semesta (Volta), PT. Unifly Indonesia Industries (Unifly). Selain itu, diperlukan pula kolaborasi antara para produsen baterai-kenderaan listrik nasional dan produsen baterai dunia seperti, Panasonic, LG Chem, CATL, AESC, Samsung SDI, Bosch, SK Innovation, serta produsen mobil listrik global yakni Tesla, BYD, Hyundai, BMW, Chevrolet, Nissan, VW.

Hilirisasi sepatutnya dibarengi koordinasi sehingga tercipta iklim kondusif dalam hilirisasi logam dasar berbasis nikel. Hilirisasi sebaiknya tidak saja dilakukan pada nikel semata, tetapi pada produk-produk logam dasar lainnya maupun agroindustri dan agromaritim agar negara maupun rakyat dapat memperoleh nilai tambah dari hilirisasi, dan hilirisasi tidak menjadi nihilisasi dan warisan dampak lingkungan. 

*Pengajar FEB Untad dan Regional Expert Sulawesi