PALU – Semakin dekatnya tahun politik disinyalir semakin banyak izin-izin pertambangan baru bakal diterbitkan pemerintah. Konflik antara masyarakat dan investasi ini pun bakal kerap terjadi, bahkan bisa menyebabkan korban jiwa, seperti almarhum Erfaldi, di Kabupaten Parimo.
Hal itu terungkap dalam diskusi dan pemutaran film tanah emas “Erfaldi dan Potret Buram Konflik SDA di Sulawesi Tengah”, Sabtu (4/3) malam.
Diskusi sekaligus pemutaran film dokumenter digagas Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Palu ini, menghadirkan dua pembicara, yakni Direktur Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulteng Mohammad Taufik dan Praktisi Hukum, Adi Prianto.
Dalam paparannya, Direktur Jatam Sulteng menyampaikan, sejak 2018 hingga 2019 Jatam sudah melakukan studi, bahwa sejumlah perusahaan tambang ada di Sulawesi Tengah (Sulteng), ikut melakukan pendanaan kampanye bagi sejumlah kandidat kepala daerah.
Maka tidak heran, sejumlah izin usaha pertambangan, saat itu lahir di Tahun 2020, juga merupakan tahun politik.
“Ini juga terjadi di Parimo, di mana sekitar 15 ribu lahan warga di Tinombo Selatan, masuk seagai konsensus PT Trio Kencana, bakal disulap sebagai area pertambangan,” terang Taufik, saat diskusi berlangsung di Sekretariat Relawan Orang dan Alam (ROA), Jalan Lagarutu, Palu.
Ia menyebutkan, penolakan warga sendiri sudah sejak 2012 silam, ketika pertama mendengar wilayah mereka dijadikan area pertambangan. Masyarakat pun menolak, karena wilayah mereka ditetapkan pemerintah sebagai lumbung pangan, malah justru dijadikan wilayah pertambangan, lewat izin usaha pertambangan dikeluarkan oleh pemerintah.
“Selama ini masyarakat tidak pernah dimintai tanggapan, mau atau tidak wilayah mereka diekpsloitasi. Bahkan justru dalam proses hingga perusahaan masuk terdapat banyak manipulasi, seperti warga sudah meninggal dibuatkan tandantangan menyetujui pertambangan di wilayah mereka,” ucap Taufik.
Tidak adanya ketegasan pemerintah dalam menyelesaikan konflik di tengah masyarakat ini lah, menjadi sebab masyarakat akhirnya menutup jalan trans sebagai bentuk protes.
Namun, protes masyarakat tersebut, kata dia, justru dilawan dengan pengerahan aparat berujung pada tertembaknya Erfaldi, salah seorang demonstran.
“Penutupan jalan sebagai protes agar pemerintah tegas mencabut rekomendasi izin tambang. Pemerintah pun tidak kunjung menemui mereka hingga akhirnya jatuh korban akibat peluru aparat,” tegasnya.
Senada dengan Taufik, Adi Prianto mengamini, investasi sumber daya alam (SDA) yang masuk berpotensi konflik dengan masyarakat dan pasti ada korban, korbannya juga pasti rakyat.
Olehnya menurutnya, posisi keberpihakan pemerintah ketika konflik terjadi, seharusnya ada pada rakyat. “Namun yang terjadi saat ini, pemerintah memang sedang mengejar investasi sebanyak-banyaknya untuk peningkatan fiskal. Kami sudah ingatkan, bahwa konflik juga akan semakin banyak, tapi kemajuan daerah juga menjadi alasan,” terangnya.
Mendekati tahun politik ini pun, dia memastikan akan banyak tambang baru masuk, sehingga konflik-konflik baru seperti di Parimo akan terjadi. Khusus kasus Erfaldi, pada akhirnya pelaku yakni anggota Polres Parimo Bripka Hendra divonis bebas Pengadilan Negeri (PN) Parimo.
“Sangat tidak memberikan rasa keadilan bagi rakyat. Sudah jelas bahwa keterangan ahli menyebut korban ditembak jarak dekat, jika terdakwa divonis bebas, lantas siapa yang menembak? tanyanya.
Jaksa pun kata dia, harusnya segera melakukan upaya hukum selanjutnya, agar memberikan rasa keadilan bagi keluarga korban. Jika tidak, maka jaksa juga ikut serta melibatkan diri dalam upaya-upaya membungkam rakyat menyuarakan keadilan.
“Untuk itu saya mengajak kita semua organisasi sipil, bisa melakukan perlawanan, lewat eksaminasi sebagai lawan tanding putusan hakim telah membebaskan terdakwa, dengan legal opini kuat. Semua aliansi rakyat harus bertanggungjawab, karena bebasnya terdakwa penembakan ini bentuk kekalahan bagi organisasi sosial,” tandasnya.
Terpisah, Ketua AJI Palu, Yardin Hasan menyampaikan AJI Palu terpanggil membuat diskusi dan pemutaran Film Dokumenter Tanah Emas, yang berkaitan dengan kasus Erfaldi, karena melihat ada ketidakadilan dialami oleh masyarakat, khususnya di wilayah Parimo.
Konflik sumber daya alam terjadi di Sulawesi Tengah, kata dia selalu memposisikan rakyat dipaksa untuk kalah. “Kami terpanggil untuk membuka cakrawala para mahasiswa termasuk jurnalis dan teman-teman pergerakan lainnya, bagaimana kejahatan lingkungan di Sulteng berbalut investasi kemudian merampas hak masyarakat. Kini, setiap jengkal lahan kita di Sulteng dibayang-bayangi oleh yang namanya investasi,” tegasnya.
Sementara itu, Sutradara Film Dokumenter Tanah Emas, Rahmadiyah Tria Gayatri menjelaskan, bahwa Film Tanah Emas dibuat mulai 2020 silam, yang merupakan Project Seni dari Cemeti Institut.
Dalam Film itu mengangkat fakta ragam peristiwa emas dari hulu hingga hilir di Sulawesi Tengah. Di mana ada sisi kelam, dalam proses produksi emas, bahkan sampai memakan korban.
“Film ini bagaimana mengangkat emas, dari sisi budaya, hingga emas menyebabkan keserakahan dan saling serang orang lain. Film kami justru tidak ada subjektifitas di dalamnya, namun merekam fakta berbagai kisah pahit tentang emas,” sebut wanita akrab disapa Ama ini.
Reporter: IKRAM
Editor: NANANG