Roa, sudah dengar laporan akhir tahun (PN) Kelas 1A PHI/Tipikor/Palu; kalo dulu di tahun 2023 ada 41 kasus korupsi, pas di 2024 so jadi 71 kasus! Komiu bayangkan saja itu, subur sekali itu korupsi, lebih subur dari jagung food estate di Pantai Barat. Kalau mo ditambah 11 lagi itu, hitungannya so dua kali lipat.
Korupsi ini memang bikin bajengkel. Bagi banyak orang, hukum untuk koruptor tepernah tegas. Kita so lihat di Indonesia ini, hukum untuk koruptor macam-macam, ada yang 4 tahun, 5 tahun, 8 tahun, bahkan yang terakhir heboh korupsi 300 Triliun dipenjara 6,5 tahun. Eh berimba ini? Karena begitu akhirnya orang-orang termasuk koruptor anggap itu korupsi bukan kejahatan serius.
Tapi menurut analisa kaka Ibelo saat duduk-duduk di Kamnel, korupsi ini bukan cuma soal hukum ya tida tegas. Tapi menurut kaka Ibelo, pertama soal moralitasnya orang (bah, nagaya betul bahasaku). Kayak caleg waktu kampanye, gaga betul mengaku anti korupsi. “Kalau bukan orang bae ada di dalam parlemen, terjadi terus korupsi, makanya pilih saya!” begitu dorang bilang. Pas tapilih, hamaaa kaget baliat uang. Karena tidak dibekali moral hanya babekal keinginan bae, akhirnya dorang khianati sendiri janjinya.
Kedua, itu karena toleransi sama korupsi. Kita di Indonesia ini korupsi itu kayak membudaya. Jangan liat dulu yang jauh-jauh kayak orang bakasus besar itu. Di sekitar kita saja. Misalnya, di kelurahan, kantor desa, ato di sekolah. Uang-uang gratifikasi gampang sekali. Misalnya di kelurahan kalau ada administrasi yang lancar diurus sama pegawainya, langsung dikaselah uang “terimakasih”. Begitu juga di sekolah, kalau ada orang tua dapat uang PIP, dikaselah sedikit ke guru yang baurus uang sebagai tanda “terimakasih”. Ato lagi di tingkat RT, karena sudah babantu babikin bukti pemilikan tanah-untuk dijual maka RT-nya dapat sedikit “hadiah” dari penjualan tanah. Ato kalau ada tukang parkir ilegal di tempat yang soada tanda “bebas parkir”, tapi tetap kita kase dengan alasan cuma 2000, padahal dia baparkir tidak berdasarkan aturan. So ini yang babikin rantai korupsi sampe yang besar.
Kemudian, ketiga, sistemnya masih belum terbuka. Masih ada yang basembunyi-sembunyi di birokrasi. Dia pe contoh, waktu Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) disusun, teada melibatkan masyarakat ato tidak dorang publikasikan. Ato ada proyek, tapi teada lelang tender terbuka, tiba-tiba soada kontraktornya.
Baru keempat, juga kekuasaan tidak diawasi dengan bae. Karena teada pengawasan di situ, maka so bapeluang ada yang dikorting di sana.
Nah terakhir, kelima, menurut kaka Ibelo. Kurangnya Pendidikan Antikorupsi. Di sekolah-sekolah jarang diajarkan antikorupsi. Bahkan justru ada yang tidak sadar babiasakan korupsi. Misalnya, kalau Hari Guru, anak-anak kase hadiah untuk guru dengan kado macam-macam, padahal itu sudah “gratifikasi”, tapi itu dianggap normal dan biasa. Ato kalau UN, ada guru bakase tau jawaban untuk murid supaya bagus nilai rata-rata sekolah. Padahal itu namanya manipulatif. Manipulatif itu salah satu dasar dari korupsi.
Nah kita juga baharap dengan pengadilan negeri, karena pengadilan benteng terakhir korupsi. Serangannya koruptor terakhir so di pengadilan. Dorang cari cela kalau ada oknum PN atau hakim yang nadoko dengan suap supaya orang itu nanti bisa baatur hasil putusan pengadilan, mo jadi ringan, bebas ato dikase lambat sidangnya. Ato dorang disuap supaya dorang babagiu alias manipulasi dokumen, barang bukti kasus.
Komiu yang ada di PN jaga hati. Jangan sampe ada bakorupsi, misalnya bakase bengkak biaya administrasi untuk pengurusan perkara, kayak pengajuan gugatan ato permohonan. Jangan memang komiu minta biaya tambahan supaya prosesnya cepat ato alasan administratif lainnya. Karena semua bisa terjadi, ada oknum PN yang ada bajahat di kepalanya.
Peluang lainnya dorang yang bajahat di pengadilan itu bekerja sama dengan advokat, jaksa, pihak yang berperkara, ato pelaku untuk baaatur jalannya kasus. Misalnya kalau dikase uang dia akan kase juga informasi rahasia soal perkara, ato mau dia kase lagi akses khusus kepada orang tertentu. Begitu juga kalo-kalo ada lagi oknum, dia cari betul kasus yang berpotensi pungutan illegal. Misalnya perkara sensitif, seperti kasus perdata besar, sengketa bisnis, ato kasus korupsi itu sendiri. Contohnya dorang tawarkan”perlindungan” hukum asal dikase imbalan.
Tapi mudah-mudahan tidak ada di PN Palu atau PN lainnya di Sulteng ini. Apa komiu di situ bae semua to? Semoga komiu sehat dan tidak maso angin le! Tabe.