Takut yang Redup

oleh -

Penulis: Nurdiansyah (Pemimpin Redaksi MAL Online)

MESTINYA bergidik ketika melihat angka positif Covid-19 di Sulawesi Tengah yang bertambah. Per 8 Mei ini, terhitung 75 orang yang telah positif, 37 Pasien Dalam Pengawasan, dan 129 Orang Dalam Pengawasan.

Akan tetapi, tidak seperti ketika awal mula diumumkan dulu. Berlama-lama di teras pun kala itu merinding rasanya. Bahkan prinsip saya waktu itu,  mungkin lebih baik digoyang gempa 3,4 SR daripada begini. Sebab ketika gempa takutnya hanya sebentar. Sedangkan soal Covid harus was-was terus menerus dengan orang di sekitar.

Tapi kini sepertinya kita sudah berdamai dengan ancaman Covid-19.  Istilah kebijakan, sosial distancing, gerakan #dirumahaja, lockdown, PSBB, tidak menarik lagi untuk diupdate. Seolah sepakat, “ah itu hanya bikin kita takut”. Alasan pamungkasnya, nanti imun berkurang. Padahal sebenarnya, sudah capek harus memikirkan Covid terus.

Dalil di atas rasanya meyakinkan, ketika jalan-jalan ramai kembali. Apalagi jelang buka puasa. Takjil diserbu sebagaimana tahun-tahun sebelumnya.  Termos jumbo dan galon sebagai prasyarat membeli di kios-kios, seperti tak guna lagi. Bahkan karena sudah jarang dipakai, ketika hendak mencuci tangan, malah tangan jadi kotor oleh debu yang menempel di botol sabun.

Jarak antar orang, kini rapat seperti semula. Mungkin bila ada yang batuk di depan, barangkali tidak ada yang rikuh dengan itu. Masker juga kadang lupa dibawa, dianggap tidak perlu, barangkali.

Belum lagi, imbauan Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk tidak sholat berjamaah di masjid, baik sholat wajib maupun tarawih, lamat-lamat dilanggar. Sebagian bahkan bukan rahasia lagi, mengerjakan sholat berjamaah secara sirriyah (sembunyi-sembunyi). Biasanya lampu dimatikan, tapi terdengar sayup-sayup “amin”. Dan itu diketahui masyarakat. Lurah/Kades tahu, RT tahu, RW tahu, Babinsanya juga tahu. Mungkin tidak enak hati juga melarang orang mau beribadah. Toh Alhamdulillah aman setelah itu. Begitupun soal larangan buka puasa bersama, nyatanya ada!

Demikianlah adanya, bersyukur, tren peningkatan  pandemi Covid-19 di Indonesia, termasuk Sulteng, tidak seperti yang kita dengar dan saksikan di media-media. Di negara-negara Eropa pun Amerika Serikat, hanya dalam hitungan minggu, rumah sakit full, bahkan tempat pemakaman pun mesti antrian dengan mobil-mobil truk jenazah. Padahal, Indonesia apalagi Sulteng, manajemen dan perangkat kesehatannya jauh di bawah negara-negara itu, jauuuuh!.

Aneh memang, entah bagaimana Covid-19 di sini tidak segarang di negara mereka. Saya tidak tahu teorinya, apakah tipe virus coronanya tidak seperti mereka. Apa mungkin virusnya kalah dengan matahari katulistiwa. Apakah virusnya berevolusi menjadi kalem, atau mungkin sayuran kita membuat kita punya herd immunity yang baik. Di kantor saya bertanya ke seorang kawan, apakah ada Orang Kaili, kena Covid-19? Dia mengawang dan menjawab “saya belum dengar kabarnya”. Lantas saya berceletuk “apa mungkin karena makan kelor?”, …. herd immunity! Tapi itu cuma celetukan. Sungguh saya tidak mengerti persoalan pandemi ini. Oh iya satu lagi, atau jangan-jangan Corona ini benar-benar adalah konspirasi,  sebab dia jahat di negara-negara yang ekonominya maju seperti Cina, Amerika dan Uni Eropa. Di Asia Tenggara saja, Singapura sebagai negara yang paling baik ekonominya, penderitanya dua kali lipat dari Indonesia. Ah, bukan kompetensi saya.

Namun yang jelas soal “beraninya” orang Indonesia ini perlu menjadi babak perhatian kita. Boleh jadi ini senjata bagi kita melawan Covid-19, dengan alasan immun bertambah. Cuma yang kita jaga, jangan-jangan “berani” justru adalah senjata dalam bentuk bumerang. Dia akan kembali dan membahayakan, bila kita tidak mampu mengendalikannya. Maka dari itu tidak boleh lena apalagi takabur. Mencegah lebih baik daripada mengobati.

Kembali saja dulu ke imbauan pemerintah, walau rasa takut itu sudah redup. Tapi semangat untuk memerangi virus corona ini tak boleh redup. Tidak ada perang yang dilawan dengan santai. Setidaknya kita benjaga-jaga, sebab virus ini masih misterius sekali. ***