PALU – Aparat Polda Sulawesi Tengah (Sulteng) menangkap dua Warga Negara Asing (WNA) yang terlibat aktivitas pertambangan tanpa izin (PETI) di Dusun Vatutela, Kelurahan Tondo, Kecamatan Mantikore, Kota Palu, 20 Mei lalu.

Dua WNA tersebut adalah LJ (62) sebagai tehnisi dan ZX (62) selaku tehnisi laboratorium. Keduanya beralamat di Hunan, China.

Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulteng, Moh Taufik, mengapresiasi tindakan yang dilakukan aparat Polda Sulteng dengan menertibkan kegiatan PETI tersebut.

“Tapi sebenarnya kami juga mempertanyakan kenapa polisi hanya menyasar dua WNA. Kenapa tidak menangkap semua pihak yang terlibat dalam aktivitas PETI di Vatutela itu,” ujar Taufik kepada media.alkhairaat.id, Kamis (06/06).

Apalagi, kata dia, status visa WNA itu, sebagaimana yang disampaikan oleh pihak kepolisian, hanya datang berwisata, bukan pekerja. Tentu, kata dia, kedatangan mereka ke Sulteng ada yang menghubungi untuk bekerja di kegiatan pertambangan.

“Itu yang sebenarnya harus menjadi konsen penegak hukum, bukan hanya pada soal kewarganegarannya, tapi siapa yang memfasilitasi dia sehingga datang bekerja,” jelasnya.

Saharusnya, kata dia, polisi juga harus membongkar secara utuh, siapa yang memodali, dari mana modalnya dan siapa yang memobilisasi alatnya.

“Kan tidak mungkin alat-alat berat ini datang dari negara asal WNA itu,” katanya.

Menurutnya, hal penting untuk memutus mata rantai kegiatan pertambangan ilegal adalah membongkar secara utuh siapa saja yang terlibat.

Pihakinya mendesak pihak kepolisian agar tidak hanya menetapkan kedua WNA itu sebagai tersangka. Sabab, kata dia, jika hanya dua WNA yang diproses, maka bisa dipastikan masih ada yang bisa memfasilitasi kegiatan ilegal tersebut untuk terus berlangsung di Vatutela.

Sejauh ini, kata dia, pihaknya juga tidak pernah mendengar aparat kepolisian mengumumkan siapa yang memodali PETI, siapa yang memfasilitasi alatnya, dan siapa yang memfasilitasi lahan.

“Itu tidak pernah diungkap ke publik. Ada apa sebenarnya proses penindakan tambang ilegal di Vatutela itu. Kita tahu, PETI ini berlangsung di salah satu kelurahan di Kota Palu. Kenapa ini bisa terjadi, dugaan kita, ada juga oknum aparat penegak hukum yang ikut membekingi,” ungkapnya.

Ia menegaskan, selama ini aktivitas PETI selalu berkedok pertambangan rakyat, padahal sebenarnya ada pihak yang memodali.

Hal senada juga dikatakan Anggota Komisi IV DPRD Provinsi Sulteng, Moh Hidayat Pakamundi.

Kata dia, jika ingin menangkap orang sebagai pelaku tambang ilegal, maka tidak boleh pilih kasih.

“Artinya, siapapun yang terlibat harus diusut tuntas. Ini bukan hanya menjadi masalah parsial saja, separuh-separuh, tapi harus didorong kepada aparat keamanan untuk tidak pilih-pilih siapa yang mau ditangkap. Kalau ada beberapa pelaku di sana, ya harus tuntas, jangan hanya dua orang saja,” tegas Hidayat.

Anggota DPRD Sulteng dari Dapil Kota Palu itu menambahkan, jika kedua WNA yang ditangkap itu hanya berstatus pekerja, berarti masih banyak pelaku-pelaku lain yang terlibat, termasuk pemodalnya, yang menyiapkan sarana prasarananya, dan sebagainya.

“Kami mendesak aparat hukum untuk melakukan penanganan secara tuntas sehingga tidak ada lagi pelaku-pelaku tambang ilegal. Usut tuntas, siapa aktor di belakangnya. Apalagi ini kan sudah terjadi berulang-ulang,” katanya.

Ia menambahkan, kegiatan tambang ilegal ini masuk unsur pidana, sehingga aparat harus bertindak tegas, harus secara total mengusut tuntas para pelaku, termasuk pemilik modal atau otak di belakang penyelenggara kegiatan ilegal ini.

Selain menangkap dua WNA tersebut, polisi juga menyita 3 unit alat berat excavator, 20 buah tong plastic, 4 unit mesin alkon, 3 batang pipa paralon, 1 set alat uji sample, 2 buah jerigen kapasitas 30 liter berisi bahan kimia hidrolik acid 32 persen dan hydrogen peroksida, dan lainnya.

Menurut Kabid Humas Polda Sulteng, Kombes Pol. Djoko Wienartono, Selasa (04/06), atas perbuatan kedua tersangka, negara mengalami kerugian kurang lebih Rp11 miliar.

Tersangka dijerat dengan pasal 158 dan 161 Undang-Undang (UU) RI Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar. (RIFAY)