Hidup sederhana bukan berarti harus melarat, tetapi hidup yang sederhana sebatas mencukupi kebutuhan yang diperlukan tanpa berlebih-lebihan. Karena itu, segala hal yang berlebihan tidak akan memperoleh kebaikan bagi yang melakukannya.

Allah melarang kaum muslimin mencari kekayaan dengan cara yang bathil, dan melarang membelanjakan harta yang dikuasai secara boros. Larangan dimaksudkan agar setiap muslim dapat mengatur nilai pengeluaran sesuai keperluannya, tepat yang dituju sebagimaha ketentuan agama. Tidak boleh membelanjakan hartanya secara boros hanya untuk kesenangan semata.

Pamer kekayaan dan berjiwa sombong akan menyebabkan kehancuran pada diri sendiri karena tidak mempunyai kontrol pribadi dan sosial. Jika kontrol tersebut tidak ada, maka akan berakibat menimbulkan sikap pemborosan yang dilarang dalam Islam.  

Sikap orang yang mendambakan kemewahan dunia semata sebagai tabiat buruk yang harus ditinggalkan karena Allah memberikan pelajaran bahwa Qarun dengan harta kekayaannya telah dibenamkan ke dalam bumi. Ternyata harta yang tidak diridhoi Allah tidak memperoleh manfaat apa-apa.

Sayyidina Abu Bakar r.a. menyerahkan semua hartanya kepada Nabi saw. dalam rangka berjihad di jalan Allah. Sayyidina ‘Utsman r.a., membelanjakan separuh hartanya.

Nafkah mereka diterima Rasulullah saw. dan beliau tidak menilai mereka sebagai para pemboros. Sebaliknya, membasuh wajah lebih dari tiga kali dalam berwudhu’, dinilai sebagai pemborosan, walau ketika itu yang bersangkutan berwudhu’ dari sungai yang mengalir.

Jika demikian, pemborosan lebih banyak berkaitan dengan tempat, bukannya dengan kuantitas.

Rasulullah, ketika melihat seorang laki-laki berwudu lain beliau bersabda, “Janganlah kamu berlebih-lebihan”  Ini adalah  tindakan yang tergolong sebagai perbuatan tabdzir.

Allah berfirman: Sesungguhnya orang-orang yang menghambur-hamburkan harta itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya (QS al-Isra [17] : 27).

Dengan demikian, menghambur-hamburkan harta dalam pandangan Islam termasuk perbuatan terlarang.

Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa tabdzir adalah membelanjakan harta bukan pada jalan yang benar.

Ibnu Abbas dan Mujahid mengatakan pendapat yang senada: Seandainya seseorang membelanjakan semua hartanya pada jalan yang benar, dia bukanlah termasuk orang yang mengham bur-hamburkan harta. Dan, seandainya seseorang membelanjakan hartanya (kendati pun hanya) satu mud bukan pada jalan yang benar, dia termasuk orang yang menghambur-hamburkan harta.

Sedangkan, Qatadah mengatakan bahwa tabdzir adalah membelanjakan harta pada jalan maksiat kepada Allah, pada ja lan yang tidak benar, dan/atau untuk kerusakan/kemudaratan.

Anas bin Malik menceritakan, seorang laki-laki dari Bani Tamim datang kepada Rasulullah SAW dan bertanya: Wahai Rasulullah, saya seorang hartawan, memiliki istri, memiliki anak, dan memiliki pelayan maka berilah saya petunjuk bagaimana cara yang seharusnya dalam memberikan nafkah?

Rasulullah SAW menjawab: Kamu keluarkan zakat hartamu bila telah wajib zakat karena sesungguhnya zakat menyucikan hartamu dan dirimu, kemudian berikanlah kepada kerabatkerabatmu, dan jangan lupa hak orang-orang yang meminta, hak tetangga, dan hak orang-orang miskin (HR Ahmad).

Laki-laki dari Bani Tamim tersebut berkata lagi: Wahai Rasulullah SAW, persingkatlah ungkapanmu kepadaku. Lalu, Rasulullah SAW membacakan surah al-Isra [17] : 26.

Harta harus dibelanjakan pada jalan yang benar. Apabila ada orang-orang yang meminta bantuan, sedang kita tak memilikinya, kita harus mengatakannya dengan kata-kata yang pantas (QS al-Isra [17]: 28). Wallahu a’lam

DARLIS MUHAMMAD (REDAKTUR SENIOR MEDIA ALKHAIRAAT)