Apa yang terbersit di hati kita ketika ada orang yang menzalimi diri kita? Secara naluri kita akan marah dan akan berusaha untuk membalas kezaliman itu. Bahkan ada yang suka membalas kezaliman itu dengan berlebihan.
Tentu sikap ini apabila tidak segera dipangkas akan membawa dampak negatif bagi kehidupan manusia itu sendiri, baik bagi kehidupan pribadi maupun kehidupan bermasyarakat.
Bagi kehidupan pribadi, seseorang yang memiliki sikap ini akan gelisah hatinya dan terkuras energinya karena memikirkan bagaimana ambisi untuk balas dendam itu terpuaskan.
Adapun bagi kehidupan bermasyarakat, sikap ini akan menyebabkan terjadinya konflik yang berkepanjangan hingga memakan korban baik harta maupun jiwa.
Agar kehidupan ini tenang dan tentram, maka sikap yang hanya ingin memperturutkan nafsu dendam harus diganti dengan sikap mulia yang diajarkan Islam yaitu sikap memaafkan.
Jika masing-masing pihak atau salah satunya memiliki sikap ini, maka konflik yang terjadi akan reda hingga berakhir tanpa ada benih-benih dendam lagi
Soal memaafkan ini contohlah Rasulullah SAW. Dikishkan Imam Hakim bahwa suatu ketika Nabi SAW sedang duduk. Tiba-tiba beliau tersenyum, hingga tampak jelas gigi beliau yang putih bersih. Dengan penasaran seorang sahabat bertanya, apa gerangan yang telah membuat beliau tersenyum.
Rasulullah menjelaskan, “Dua orang laki-laki dari umatku datang menghadap Allah. Lelaki pertama berkata, ‘Ya Allah, ambilkan hakku darinya!’ maka Allah memerintahkan agar orang kedua bersedia membayar hak orang pertama.”
Lelaki kedua berkata, “Ya Allah, tidak ada lagi amalan baikku yang tersisa.” Kemudian lelaki pertama berkata, “Kalau begitu limpahkan dosaku padanya.”
Allah berkata pada lelaki pertama, “Palingkan wajahmu dan arahkan pandanganmu ke surga!” Maka ia pun memandang ke surga, ia menjadi heran, karena indah dan luasnya surga ribuan kali bumi.
Lelaki itu bertanya, “Ya Allah untuk siapakah surga seluas itu?” Allah berkata, “Surga itu untuk orang yang mampu membelinya.” Lelaki itu bertanya, “Ya Allah siapakah yang mampu membelinya?”
Allah berfirman, “Engkau.” Laki-laki itu berkata, “Bagaimana mungkin hamba-Mu ini mampu membelinya?” Allah menjawab, “Dengan tidak menuntut hakmu yang ada di pundak saudaramu.”
Lelaki itu pun berkata, “Ya Allah, jika demikian aku bersedia memaafkan kesalahannya.” Allah SWT berfirman, “Gandenglah tangan saudaramu dan masuklah kalian berdua ke dalam surga.”
Dan memaafkan itu lebih dekat dengan takwa dan jangan kamu lupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Baqarah [2]: 237).
Subhanallah, hadis ini menggambarkan betapa indahnya memaafkan hingga berbuah surga. Tak ada satu pun manusia yang tak pernah berbuat salah. Allah menciptakan manusia dengan berbagai keterbatasannya.
Ini bukan berarti membenarkan kita berbuat salah. Karena pada dasarnya manusia tidak mau melakukan kesalahan, namun karena keterbatasan diri membuat kita terjatuh pada kesalahan tanpa disadari.
Jangan hardik kesalahan, tapi bingkailah ia dengan kelapangan dada, justru kesalahan orang lain merupakan kesempatan bagi kita mengingatkan dan memaafkannya.
Kesalahan tak dapat dihapus dari catatan sejarah, ia tidak bisa mengubah masa lalu, tapi memperindah masa depan. Ia merupakan salah satu kunci pintu kebahagiaan.
Imam Ghazali mengatakan, lebih baik memberi maaf dan belas kasihan pada orang yang menyakiti kita, daripada memendam kecewa dan benci yang hanya akan membuat jiwa lelah. Di sinilah kebesaran jiwa orang beriman teruji, bahwa memaafkan itu akan lebih dekat dengan takwa. Wallahu a’lam
DARLIS MUHAMMAD (REDAKTUR SENIOR MEDIA ALKHAIRAAT)