PALU – Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) secara nasional menempati peringkat lima pernikahan anak tertinggi.
Khususnya perempuan, usia di bawah 20 tahun dengan persentase 58,9 persen. Bahkan anak usia di bawah 18 tahun masih dalam angka 32 persen.
Secara nasional pernikahan anak bawah umur itu yang tertinggi adalah Sulawesi Barat (Sulbar), Kalimantan Tengah (Kalteng), Kalimantan Selatan (Kalsel) dan Kalimantan Barat (Kalbar).
Berdasarkan data yang ada, tingkat pernikahan anak tertinggi di Sulteng berada pada Kabupaten Buol. Kedua, Parigi Moutong dan Kabupaten Banggai. Sedangkan daerah dengan angka pernikahan anak terendah adalah Kota Palu.
Terkait dengan hal tersebut, Kepala Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Sulteng, Maria Ernawati, Selasa (10/11) mengatakan, tingginya angka pernikahan anak di Sulteng cukup mengkhawatirkan, karena dapat berdampak pada kesehatan perempuan, khususnya saat melahirkan.
Olehnya BKKBN Sulteng menginisiasi program integrasi lintas sektor bernama ‘Patujua’. Program tersebut sudah dibentuk sejak beberapa bulan lalu bersama sejumlah instansi terkait lainnya, seperti Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A), Dinas Kesehatan (Dinkes), Dinas Sosial (Dinsos) dan Kementerian agama (Kemenag).
“Dalam bahas Kaili, Patujua berarti menuju tujuan bersama. Patujua ini merupakan satu inisiasi program terpadu. Sebetulnya untuk menekan pernikahan anak sudah banyak instansi punya program. Sayangnya, selama ini masih jalan sendiri. DP3A jalan sendiri, BKKBN jalan sendiri, Dinas Sosial jalan sendir, dinas lain juga begitu. Melalui ‘Patujua’ kita padukan menjadi program bersama,” kata Maria Ernawati, di Palu. Selasa 10 November 2020.
Kata dia, saat ini program tersebut telah memasuki tahapan pembahasan pembentukan Peraturan gubernur (Pergub) oleh pemerintah provinsi Sulteng dan DPRD setempat.
“Pergubnya masih dibahas. Mudah-mudahan dalam waktu dekat Pergub ini sudah bisa ditelaah,” harapnya.
Maria optimis, program terintegrasi ‘Patujua’, bisa menekan angka pernikahan anak di Sulteng.
“Nanti kita bentuk satu mekanisme dan sistem kerja bersama dalam program ‘Patujua’. Kita berharap, dalam waktu tiga tahun ke depan, angka pernikahan anak di Sulteng sudah bisa kita turunkan,” tuturnya.
Dipenghujung, Maria membeberkan, berdasarkan data yang ada, beragam alasan dari masyarakat yang menyebabkan terjadinya nikah cepat. Diantaranya, faktor ekonomi, pemahaman kurang oleh masyarakat dan pergaulan bebas alias seks bebas. (YAMIN)