PALU- Pemanasan global semakin menghawatirkan data dari Badan Meteorologi Dunia (WMO) menunjukkan bahwa tahun 2023 merupakan tahun terpanas dalam sejarah modern, dengan suhu naik sebesar 1,5 derajat celcius pada September, angka seharusnya baru tercapai 2050 berdasarkan kesepakatan Paris.
Kepala Stasiun Pemantau Atmosfer Global (SPAG) Lore Lindu Bariri Asep Firman Ilahi mengatakan, salah satu penyumbang utama pemanasan global adalah karbon dioksoda (CO2) yang memiliki waktu tinggal di atmosfer 32 tahun.
“Setiap kita membakar sampah atau menggunakan bahan bakar fosil dampaknya terasa hingga puluhan tahun kedepan,” jelas Asep dalam dialog publik Peran Jurnalis TV di Era AI, Menghadapi Krisis Iklim dan Industri Ekstraktif pada Musda IJTI Sulteng ke-V, di Aston Hotel, Jalan Monginsidi, Kota Palu, Sabtu (17/5).
Asep mengatakan, dari catatan di miliki SPAG Lore Lindu Bariri, dari 2017 hingga 2024 konsentrasi empat gas rumah kaca utama di wilayah tersebut terus meningkat; karbon dioksida (CO2), metana (CH2), dinitrogen oksida (N2O), dan sulfur heksafluorida (SF6).
“Tren kebaikan ini konsisten, tanpa pernah menunjukkan penurunan atau pelandaian,” katanya.
Kondisi tersebut menurutnya, diperparah oleh tingginya aktivitas industri pertambangan dan energi di wilayah tersebut. Data 2004 mencatat sektor industri menyumbang sekitar 37,6 gigaton CO2 secara global.
“Namun sektor penyumbang terbesar adalah sektor energi, terutama pembangkit listrik berbasis batu bara dan diesel,” katanya.
Lebih lanjut kata Asep, di Sulawesi Tengah kegiatan pertambangan emas, nikel, dan mineral lainnya menjadi kontributor utama deforestasi menyebabkan hilangnya sekitar 5.000 hongga 6.000 hektare hutan per tahun.
Asep mengatakan, dampaknya mencakup degradasi lingkungan, pencemaran air, peningkatan suhu lokal, dan gangguan sosial.
Kota Palu sendiri mencatat anomali suhu meningkat sejak tahun 2000, terutama selama periode EL NINO pafa 2015-2016 dan 2019. Data menunjukkan suhu di Kota Palu naik 1,45 ‘C dibandingkan kondisi sebelum 1975.
Asep menyebutkan, meski pertumbuhan ekonomi Sulteng tertinggi di Indonesia, angka kemiskinan tetap tinggi. Hal tersebut disebabkan oleh dominasi sektor pertambangan dan industri dalam mendorong pertumbuhan. Sementara mayoritas masyarakat masih bergantung pada pertanian dan perikanan lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Olehnya kata Asep beberapa solusi dusarankan meliputi, transisi menuju ekonomi hijau, termasuk investasi dalam energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin, diversifikasi ekonomi lokal agar masyarakat tidak hanya bergantung pada sektor pertambangan.
Kemudian kata Asep penguatan regulasi lingkungam serta pengawasan ketat dari pemerintah terhadap industri, edukasi publik dan pelibatan komunitas lokal untuk memastikan transparansi dan berkelanjutan, promosi teknologi ramah lingkungan dan praktik pertambangan berkelanjutan.
“Dan peran aktif media massa dan masyarakat untuk memastikan tranparansi dan akuntabilitas,” imbuhnya.
Kepala Dinas Komunikasi,Informatika Persandian dan Statistilk Provinsi Sulawesi Tengah Wahyu Agus Pratama mengatakan, saat ini pihaknya sudah masuk dalam kelompok kerja (Pokja) Pengelolaan Sistem Informasi Hidrologi, Hidrometeorologi dan Hidrogeologi (PSIH3) masing-masing punya peranan sesuai tugas dan fungsinya (Tusi).
“Tugas kami tentu terkait publikasinya dan membuat portal satu platform nantinya bisa diakses oleh msyarakat dan stakeholder menggunakan data terkait hidrologi, hidrometeorologi dan hidrogeologi,” katanya.
Reporter: IKRAM
Editor: NANANG