Minggu malam itu, suasana di depan Gedung DPRD Sulawesi Tengah berubah menjadi hening. Puluhan pemuda berkumpul, bukan untuk meneriakkan tuntutan dengan suara keras seperti biasanya, tetapi untuk melakukan sesuatu yang jauh lebih senyap namun penuh makna.

Mereka menyalakan lilin dan menaburkan bunga di depan plang nama gedung, sebuah simbol berkabung untuk sesuatu yang mereka yakini telah mati: demokrasi.

Aksi ini bukan sekadar unjuk rasa biasa. Itu adalah bentuk protes yang tenang, nyaris seperti upacara pemakaman, tapi bukan untuk seseorang, melainkan untuk sebuah ide, sebuah cita-cita yang terasa semakin jauh dari kenyataan. Dengan cahaya lilin yang berkelip di tengah kegelapan malam, pemuda-pemuda ini berdiri bersama, menyuarakan duka mereka dengan bisikan yang tenang namun menggema dalam hati.

“Saya tidak bisa hanya diam melihat semua ini,” ujar Wahyu, seorang mahasiswa Universitas Tadulako yang menjadi salah satu penggerak aksi ini.

“Kami merasa bahwa demokrasi sedang sekarat, dan ini adalah cara kami untuk memberikan penghormatan terakhir,” tambahnya.

Mereka menyebut aksi ini sebagai “tahlilan malam ke-7”, sebuah ritus simbolis yang akan mereka lakukan hingga tanggal 27 Agustus, bertepatan dengan dibukanya pendaftaran calon kepala daerah untuk Pilkada 2024.

Bagi Wahyu dan kawan-kawannya, tanggal tersebut bukanlah sekadar angka di kalender, melainkan penanda bagi sebuah titik balik dalam sejarah politik Indonesia.

Aksi ini telah dimulai sejak Jumat, 23 Agustus, satu hari sebelum demonstrasi besar-besaran oleh Aliansi Mahasiswa se-Kota Palu pecah di jalanan kota. Di tengah terik matahari siang itu, spanduk-spanduk besar dibentangkan, menyuarakan duka dengan kalimat “turut berduka cita atas mati-matinya demokrasi”.

Bahkan, ada nisan simbolis yang dipajang di tengah kerumunan, bertuliskan “turut berduka cita atas matinya DPR”. Namun, setelah teriakan dan bentrokan mereda, yang tersisa hanyalah keheningan, diisi oleh aksi tabur bunga dan lilin yang dilakukan malam demi malam.

Ketika malam semakin larut, kata-kata yang tertulis di atas kertas dan dipajang di sekitar lokasi aksi mulai menceritakan kisah lain, kisah tentang kekecewaan dan kemarahan yang mendalam terhadap aparat kepolisian yang dinilai represif. “Tembak Polisi anti demokrasi”, “Polisi tidak lagi melindungi”, dan “Beri keadilan untuk para korban represifitas polisi” adalah beberapa dari pesan-pesan tersebut, yang mencerminkan luka yang masih menganga pasca bentrokan yang terjadi.

Wahyu mengungkapkan, aksi mereka bukan hanya tentang mengecam kekerasan atau keputusan MK yang mereka nilai mengancam demokrasi. Lebih dari itu, ini adalah panggilan untuk merenungkan di mana posisi kita sekarang sebagai bangsa.

“Tiga lembaga negara kita, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif, saat ini sedang hancur-hancurnya,” ujar Wahyu dengan nada yang sarat keprihatinan.

Bagi Wahyu, situasi saat ini mengingatkan pada masa kelam Orde Baru, ketika mahasiswa turun ke jalan, mempertaruhkan nyawa mereka demi perubahan. Ia merasa bahwa kini, sejarah seperti terulang kembali, hanya saja dengan wajah yang berbeda.

Di tengah nyala lilin yang temaram, di bawah langit Palu yang kelam, aksi ini terus berlanjut. Setiap malam, bunga-bunga baru ditaburkan, dan lilin-lilin baru dinyalakan, menandakan bahwa meski suara mereka mungkin tak lagi terdengar nyaring, pesan mereka masih membara.

“Kami akan terus di sini, hingga ada keadilan bagi mereka yang tertindas, hingga demokrasi kembali mendapatkan tempatnya,” Wahyu menutup pembicaraan, matanya menatap jauh ke arah lilin-lilin yang terus menyala, seolah berjanji bahwa harapan mereka belum sepenuhnya padam.

Penulis : Mun
Editor : Yamin