Wajah nenek itu nampak masygul menatap kosong ke arah sungai yang mengalir deras, beberapa meter tepat di samping rumahnya. Sesekali, pandangannya beralih ke sebuah bangunan kecil di depan rumah yang sudah tak utuh lagi.
Bangunan yang belum lama dibuat dengan jerih payah dan tertatih-tatih itu, difungsikan sebagai WC keluarga. Posisinya tak sampai semeter dari bibir tebing itu memang sengaja dibongkar karena dianggap tidak bisa lagi dipertahankan. Daripada sudah terperosok dalam tebing, maka lebih baik material yang dianggap masih bisa dimanfaatkan itu diambil dari sekarang.
Di usianya yang senja, bukannya ketenangan yang dia nikmati. Sebenarnya, dia pun ingin seperti kebanyakan orang-orang sebayanya yang sudah berdiam di rumah, dilayani anak-anaknya sembari bercengkrama dengan cucu-cucunya.
Dari kondisi fisik akibat ketuaan, Asnia -begitu sang nenek disapa- memang tidak memungkinkan lagi beraktifitas berat, setelah hampir lebih dari separuh hidupnya dipergunakan untuk melawan kerasnya hidup, sehingga masih bisa menghirup udara sampai sekarang.
Asnia adalah satu dari ribuan warga Desa Tulo, Kecamatan Dolo, Kabupaten Sigi yang turut gemetar ketika merasakan getaran air bah saat membentur dinding tebing di pinggir kampung.
Asnia pula yang mau tidak mau harus merelakan rumah yang sudah dihuninya berpuluh tahun itu, dilahap mentah-mentah oleh air yang sudah meluber ke permukiman akibat abrasi.
Asnia tinggal bersebelahan dengan anaknya, Hadijah yang kini berstatus janda tujuh anak karena ditinggal mati suaminya beberapa waktu lalu. Paling menyedihkan lagi, sekarang ada anaknya yang sedang sakit.
“Mana anak-anak sakit, baru ini rumah mau jatuh,” katanya beriringan dengan bulir bening yang entah dia sadari atau tidak, jatuh dari matanya.
Lidahnya sempat kelu ketika harus mengatakan apa yang akan dilakukannya kedepan, jika tanpa diminta-minta, tempat tinggalnya akhirnya roboh diterjang air. Tapi mimiknya sedikit cerah, matanya berbinar ketika mengaku ada pihak yang tidak diketahuinya (pemerintah, red) akan memberikan bantuan kepada warga yang kehilangan rumah.
Sayangnya, bantuan itu bersyarat. Warga harus memiliki lokasi sendiri untuk pindah dari bibir sungai.
“Terpaksa kita beli tanah punyanya Pak Saleh, karena saya dengar katanya ada nanti bantuan buat kita kalau sudah hanyut ini rumah,” katanya.
Tapi dia ingin, bantuan itu sudah diberikan, sebelum rumahnya benar-benar amblas, agar sudah bisa memulai hidup di tempat tinggal yang baru, jauh dari titik bencana. Paling tidak, bisa memperpanjang sejenak jatah hidupnya, demi menyaksikan, bahwa orang-orang yang akan ditinggalkannya nanti, benar-benar sudah aman dari keganasan abrasi sungai.
“Prihatin dengan warga disini. Ini darurat. Sudah saatnya penanganan Sungai Palu dengan pendekatan program yang tidak parsial dan setengah hati,” hanya itu yang bisa diucapkan Anggota DPRD Sulteng, Muh Masykur, akibat larut dalam kesedihan yang dirasakan sang nenek.
Terik di siang kemarin, puluhan warga Desa Tulo, bahu membahu menangkal derasnya aliran Sungai Palu dengan karung yang diisi pasir. Tak hanya kaum pria, ibu-ibu di desa itu juga tak mau ketinggalan mengambil peran menyiapkan konsumsi bagi mereka yang tengah berusaha menyelamatkan desa dari ancaman abrasi sungai. (RIFAY)