PALU – Pendiri Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Sulawesi Tengah (Sulteng), Edmond Leonardo Siahaan, menyayangkan tindakan Polda Sulteng yang hanya membawa kasus Briptu D pada sidang etik.
Briptu D ditangkap Tim Subdit Paminal Polda Sulteng pada 28 Juni 2022 lalu bersama barang bukti uang sebesar Rp4,4 miliar hasil suap dari 18 Calon Siswa (Casis) Polri.
Menurut Edmond, suap bukanlah pelanggaran kode etik, tapi gratifikasi yang merupakan tindak pidana korupsi.
Apalagi, kata dia, praktik itu dilakukan oleh seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara.
“Sesuai dengan Pasal 12 ayat 1 dan 2 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka ganjarannya adalah dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun, pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar,” ungkapnya, kepada media ini, Selasa (16/08).
Edmond mencontohkan kasus suap casis Polri yang sama di Polda Sumatera Selatan (Sumsel), di mana Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kelas 1A/Khusus Palembang menjatuhkan vonis 5 tahun penjara dan denda Rp200 juta terhadap mantan Kepala Bidang Dokter dan Kesehatan (Bid Dokkes) Polda Sumsel, Kombes (Purn) Soesilo Pradoto.
“Hakim juga menjatuhkan vonis kepada AKBP Saiful Yahya. Keduanya terbukti melakukan tindak pidana korupsi dengan menerima suap Rp6 miliar,” kata pria yang saat ini berprofesi sebagai advokat itu.
Para terdakwa, lanjut dia, dijerat dengan Pasal 12 huruf A Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Oleh karena itu, Briptu D dan jaringan calonya harus dikenakan Pasal 12 huruf A Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” tegasnya.
Mantan Koordinator KontraS Sulawesi itu juga menyangsikan keterangan Kabid Humas Polda Sulteng Didik Supranoto, bahwa Briptu D bekerja sendirian.
“Bagaimana mungkin seorang D yang hanya berpangkat Briptu bisa bekerja sendirian,” cetusnya.
Kata dia, apabila Polda Sulteng mau sungguh-sungguh memberantas calo, praktek suap dan tindak pidana korupsi, maka harus berani membongkar jaringan calo Briptu D tersebut, sekalipun melibatkan banyak perwira menengah atau perwira tinggi.
“Inilah saatnya Polda Sulteng bersih-bersih diri agar lebih profesional ke depannya dalam penerimaan dan perekrutan Casis Polri. Bukan dengan terburu-buru menyimpulkan bahwa Briptu D bekerja sendirian,” tutupnya.
Briptu D, calo penerima seleksi pendidikan pembentukan Polri Gelombang II 2022 ditangkap Paminal Polda Sulteng berserta sejumlah uang senilai Rp4,4 miliar, 28 Juni 2022 lalu.
Konsekuensinya, 18 orang tersebut digugurkan sebelum pengumuman tahap akhir, sebab melanggar pakta integritas.
Menurut Kabid Humas Polda Sulteng, Didik Supranoto, dari hasil pemeriksaan, Briptu D ini bermain sendiri. Belum ada keterlibatan pihak lain.
“Perkaranya masih dalam penyidikan Propam Polda Sulteng, dan dalam kesempatan pertama segera disidangkan dalam perkara kode etik,” katanya.
Praktik percaloan penerimaan anggota Polri bukan kali ini terjadi. Pada 2019-2020 juga dilakukan Bripka Agus Salim kepada empat korban casis Polri, masing-masing Gede Heri Irawan Rp400 juta, Rizaldi Rp369 juta, Ahmad Khubaib Rp280 juta dan Randi Rp175 juta.
Dari hasil penipuan tersebut Bripka Agus meraup keuntungan sekitar Rp1,09 miliar. RIFAY