Stunting: Bangun Budaya bahwa Anak adalah Investasi

oleh -

OLEH : Hasanuddin Atjo*

Presiden Jokowi menaruh perhatian besar terhadap penurunan angka stunting nasional maupun regional.

Laporan BPS menunjukkan bahwa pravelensi stunting nasional tahun 2022 sebesar 21,6 persen, turun sebesar 2,8 persen dari tahun 2021. Angka ini dibawah standar WHO sebesar 20 persen.

Angka ini berimplikasi bahwa pada 15 tahun akan datang ada sekitar 21,6 persen angkatan kerja dari jumlah balita tahun 2022 sebanyak 30,70 juta jiwa yang diperkirakan tidak bisa bersaing mengisi sejumlah pasar kerja dalam negeri sehingga menjadi beban negara.

Secara akumulatif angka tersebut sangat besar bila dikaitkan dengan usia produktif angkatan kerja 15 – 64 tahun.

Keseriusan Presiden Jokowi sangat beralasan, karena untuk menjadi Indonesia maju pada tahun 2045 dengan prediksi PDB pada saat itu sebesar $US 7 triliun, naik 700 persen dan pendapatan per kapita menjadi $US 23.000 dari $US 4.000, diperlukan sumber daya manusia yang handal dan berdaya saing.

Dan jika tidak dipersiapkan, maka sudah pasti pasar kerja Indonesia akan banyak diisi oleh tenaga kerja berasal dari negara lain. Fenomena tersebut sejak lama sudah terlihat bahwa project maupun bisnis yang menuntut keterampilan khusus dan tinggi serta kemampuan berpikir maju, dominan menjadi kaplingan para tenaga kerja asing. Ini yang harus dijaga.

Sebaliknya, Indonesia lebih banyak mengisi sejumlah pasar kerja yang tidak menuntut keterampilan lebih seperti menjadi tenaga kerja level bawah di Arab Saudi, Malaysia dan Brunei yang kerap menimbulkan sejumlah masalah mulai proses perekrutan, pada saat bekerja hingga kembali pulang ke kampung halaman.

Menurut data Asean Development Bank (ADB), bahwa di tahun 2020 angka prevalensi stunting negeri ini di level Asia Tenggara berada pada peringkat ke 10, yaitu sebesar 31,8 persen, satu level berada di atas Timor Leste 48,8 persen dan pada level dunia di peringkat ke 5.

Ini merupakan realita yang harus menjadi peringatan dan kewajiban bersama memeranginya.

Vietnam dengan pendapatan per kapita masih dibawah Indonesia, baru merdeka tahun 1975 , angka pravelensi Stuntingnya pada tahun 2020 hanya sebesar 22,3 persen dan Thailand lebih rendah lagi sebesar 12,3 persen. Ini memberi gambaran bahwa pendapatan bukan menjadi faktor yang utama.

Menarik didiskusikan bagaimana korelasi antara tingginya stunting dengan kemampuan berpikir dan keterampilan seseorang. Menurut sejumlah ahli bahwa stunting lebih berkorelasi dengan kualitas otak anak. Kecukupan akan asupan gizi terutama pada 1000 hari pertama kehidupan menjadi poin penting, selain menjaga kesehatan Ibu dan anak.

Otak anak berkualitas, sekitar 80 persen disusun oleh asam lemak yang berasal dari protein hewani, antara lain dari ikan, daging, susu dan telur. Program gemarikan dari KKP merupakan contoh sosialisasi dan kampanye makan ikan yang dinilai efektif dalam rangka edukasi dan intervensi berkait asupan gizi. Demikian pula halnya program lain seperti progran sejuta telur, serta menu tambahan lain bagi balita.

Program kementerian tersebut pada beberapa tahun terakhir tidak lagi segencar dibandingkan beberapa tahun sebelumnya, terutama dari sisi alokasi anggaran di pusat dan daerah serta keseriusan didalam mengimplementasikan program program tersebut dalam sejumlah kegiatan.

Sesungguhnya program bantuan dana desa yang besarannya Rp1 milar sampai Rp1,5 miliar/desa setiap tahunnya antara lain dapat dipakai untuk penurunan angka stunting, tinggal menambah menu program, bila belum tersedia. Terhadap pemanfaatan dana desa ini, harus dibuat role model yang sudah bebasis digitalisasi.

Desa-desa dengan tingkat stunting ekstrem di setiap kabupaten dapat dijadikan role model yang akan terkoneksi secara digital dengan tim koordinasi penurunan angka stunting tingkat Kabupaten dan Provinsi serta Pusat .

Saat ini sudah ada aplikasi digital seperti aplikasi D – Desa yang bisa dimanfaatkan. Pemanfaatan sejumlah mahasiswa yang ber KKN menjadi agen perubahan dalam mengampanyekan stunting dan cara menurunkannya, tentu menjadi poin yang bisa membantu.

Berdasarkan data yang dirilis oleh ADB (2020j, tingkat IQ, Intelegent Question rata rata warga Ibdonesia sekitar 78,9, berada di peringkat ke 10 di Asean di bawah beberapa negara lainnya seperti Kambodia yang mendekati angka 100 poin. Kondisi ini tentunya harus menjadi warning dan kepedulian seluruh stakeholders di pusat dan daerah

Pada saat menjadi konsultan FAO untuk Kombodia tahun 2017-2018 mendapat informasi dari beberapa warga bahwa kehadiran seorang anak dalam keluarga dipandang sebagai investasi atau aset yang tidak ternilai. Ini telah menjadi budaya secara turun temurun dan terus dipertahankan dan dipupuk sebagai kebisaan yang benar.

Di Tanah Air ada beberapa suku yang juga memiliki budaya seperti suku suku di Kambodia. Kehadiran anak dipandang sebagai amanah dari sang Khalik dan harus dijaga, dipelihara agar kelak bisa manjadi anak soleh/solehah , bermanfaat bagi keluarga dan masyarakat. Dan kebiasaan seperti inilah yang harus ditumbuhkembangkan.

Bantuan sosial seperti BLT bagi warga pra sejahteta yang biasanya diterima di kantor pos merupakan upaya membatu masyarakat agar disisihkan untuk memenuhi asupan gizi bagi anak balita. Hanya saja pada sejumlah kasus dana BLT itu lebih sering dipergunakan membeli kebutuhan tidak prioritas seperti rokok dan pulsa. Ini kembali lagi kepada kurangnya pemahaman.

Sulawesi Tengah adalah salah satu provinsi dengan pravelensi stunting pada 2022 tergolong tinggi yaitu 28,20 persen, peringkat ke 8 dari 34 Provinsi. Pravelensi ini turun 1,5 persen dari angka pravelensi tahun 2021. Selanjutnya terhadap tahun 2020 juga hanya turun 1,5 persen.

Berdasarkan data yang bersumber dari tim percepatan penurunan angka stunting Sulawesi Tengah bahwa pada akhir tahun 2024 pravelensi stunting di Sulteng diproyeksikan turun menjadi 11 persen. Artinya diperlukan effort penurunan yang besar dari tahun 2022 sebesar 17,2 persen atau 8,6 persen/tahun.

Melihat kinerja penurunan stunting Sulawesi Tengah dalam dua tahun hanya turun 3 persen, maka target penurunan sebesar 17,20 persen pada akhir 2024 perlu dievaluasi dan ada baiknya direvisi maksimal turun sebesar 6 persen, sehingga pada akhir tahun 2024 prevalensi stunting menjadi 22 persen. Hal ini dinilai sebagai target yang wajar.

Berdasarkan proyeksi RPJMD Provinsi Sulteng 2021-2026 bahwa angka prevalensi stunting di akhir tahun 2026 menjadi 11 persen. Angka ini juga dinilai masih membutuhkan effort sebesar 11 persen terhadap tahun 2024. Dan hal ini bisa saja terealisasi apabila skenario yang dususun adalah terukur dan tepat sasaran.

Evaluasi program dan kegiatan di sejumlah OPD menjadi penting. Demikian pula pengawasan dalam implementasi. Membangun role model di setiap kabupaten dengan lokus desa desa stunting ekstrim bisa menjadi pendekatan yang lebih konkrit dan terukur.

Pemanfaatan dana desa, terutama di setiap desa dengan status kritis stunting menjadi strategis, dan kemudian diintegrasikan dengan progran pada OPD di kabupaten dan provinsi.

Sebagai catatan bahwa dalam 7 tahun terakhir, alokasi dana desa di Sulawesi Tengah telah mencapai 10 triliun rupiah.

Terakhir peran kelompok kerja (pokja) penurunan angka stunting yang berada di tingkat provinsi dan kabupaten/kota juga menjadi strategis, terutama dalam koordinasi dan mengawasi serta inplementasi penerapan role rmodel pada desa kritis stunting yang sudah berbasis digital.

*Penulis adalah Dewan Pakar Ispikani