PALU – Kasus eksploitasi seksual terhadap anak berusia 11 tahun di Kabupaten Banggai Kepulauan, yang menyeret delapan tersangka termasuk anggota keluarga korban, memicu gelombang kecaman dari kalangan feminis dan pemerhati perempuan.

Kekerasan seksual terhadap anak perempuan dinilai berakar dari budaya patriarki yang menempatkan laki-laki pada posisi dominan dan anak perempuan dalam posisi subordinat. Relasi kuasa yang timpang inilah yang kerap melahirkan kekerasan seksual di lingkup keluarga.

Dari perspektif feminis, keterlibatan ibu kandung dalam kasus ini—yang diduga menjual tubuh anaknya untuk melayani pelanggan—menunjukkan bentuk kekerasan ekonomi akibat tekanan sosial dan struktur ekonomi yang menindas perempuan dan anak.

Fakta bahwa pelaku utama melibatkan orang tua kandung serta pihak-pihak terdekat korban memperparah kekejian kasus ini.
“Tindakan tegas dan penegakan hukum seadil-adilnya sangat diperlukan, perlindungan keamanan maksimal bagi korban, penyembuhan trauma yang dialami korban juga harus segera ditindak dengan secepatnya guna mencegah adanya gangguan psikologis bagi korban. Hukuman berat bagi semua pelaku tanpa terkecuali dua pelaku yang masih di bawah umur,” ujar Amalia, staf kampanye Solidaritas Perempuan (SP) Palu.

Kasus ini, lanjutnya, menunjukkan bahwa kekerasan seksual adalah bagian dari kekerasan berbasis gender. Anak perempuan menjadi korban ganda—sebagai subjek kekerasan seksual laki-laki dalam keluarga dan objek eksploitasi ekonomi oleh ibu kandungnya. Dalam struktur sosial yang patriarkis, anak perempuan dianggap tak memiliki kuasa atas tubuh dan ruang geraknya, sehingga membuka jalan bagi eksploitasi oleh orang tua, saudara, atau pihak lain.

Menanggapi hal ini, Solidaritas Perempuan (SP) Palu menuntut pemerintah untuk mengambil langkah tegas dan sistematis dalam menangani kasus tersebut.

SP Palu mengajukan empat tuntutan utama: Pertama, mendorong Pemerintah Kabupaten Banggai Kepulauan untuk menyelenggarakan pelayanan terpadu dalam penanganan, perlindungan, dan pemulihan korban, yang dilaksanakan melalui Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA). UPTD diharapkan bekerja sama dengan kepolisian, kejaksaan, pengadilan, LPSK, dan institusi lain yang relevan.

Kedua, meminta Pemkab Bangkep melakukan program pengenalan dan pencegahan kekerasan seksual sejak dini, melalui kolaborasi antara pemerintah, lembaga, dan masyarakat. Edukasi tentang tubuh, batasan pribadi, serta sosialisasi UU Perlindungan Anak dan UU TPKS perlu digalakkan. Upaya ini mencakup advokasi, pos pengaduan, konsultasi, rujukan, serta pelayanan kesehatan dan rehabilitasi bagi korban dengan melibatkan anak, orang tua, dan lembaga terkait.

Ketiga, menuntut para pelaku kekerasan seksual dijerat dengan pasal-pasal dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), yang mengancam hukuman hingga 15 tahun penjara. Dan, keempat, mendorong pengadilan negeri agar hak asuh korban dialihkan kepada pihak yang layak dan bertanggung jawab, seperti anggota keluarga lain yang dapat memberikan pengasuhan, perlindungan, dan pemenuhan kebutuhan anak.

    SP Palu menegaskan, negara wajib hadir untuk memastikan perlindungan anak dari segala bentuk kekerasan, terutama ketika pelaku justru berasal dari lingkungan terdekat korban.