PALU – Dalam momentum Hari Pangan Sedunia 2025, Solidaritas Perempuan (SP) menyerukan kepada pemerintah untuk mengembalikan kedaulatan pangan kepada rakyat, khususnya perempuan, serta menghentikan berbagai bentuk kebijakan dan proyek yang memperparah perampasan tanah dan sumber penghidupan perempuan di berbagai daerah.
Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, Armayanti Sanusi, menegaskan bahwa sistem pangan di Indonesia saat ini telah bergeser menjadi komoditas pasar yang dikendalikan oleh kebijakan berwatak neoliberal dan ekstraktif. Kondisi tersebut, kata dia, menjauhkan perempuan dari sumber-sumber agraria yang selama ini menopang kehidupan keluarga dan komunitas.
“Kebijakan pangan kita tidak lagi berbasis pada hak asasi manusia, tetapi pada logika pasar. Negara harus memastikan keadilan pangan dengan memberi akses setara bagi kelompok rentan dan mengakui peran perempuan produsen pangan,” ujarnya dalam siaran pers, Rabu (15/10).
Solidaritas Perempuan, yang telah bekerja bersama 6.843 perempuan di 105 desa di 10 provinsi, menemukan banyak kasus perampasan tanah dan proyek pembangunan yang meminggirkan perempuan. Dalam catatan SP, perampasan sumber pangan terjadi hampir di seluruh wilayah, mulai dari Aceh hingga Sumbawa.
Di Sulawesi Tengah, perempuan petani di Desa Watutau, Kabupaten Poso, menghadapi konflik lahan dengan Badan Bank Tanah, yang berujung pada kriminalisasi terhadap 12 petani, satu di antaranya telah ditetapkan sebagai tersangka. Sementara di Desa Kuku, Poso, kebijakan penyeragaman bibit dan rencana kerja sama pemerintah daerah dengan perusahaan perkebunan durian disebut mengancam keberlanjutan kebun kolektif yang dikelola kelompok perempuan.
“Kami hanya ingin tanah kami dikembalikan. Kalau pencuri masuk desa diberi sanksi, kenapa kami yang dilaporkan ketika mempertahankan tanah?” kata seorang perempuan pemimpin di Watutau.
Kondisi serupa juga terjadi di Sulawesi Selatan, di mana perempuan nelayan di pesisir Makassar kehilangan akses terhadap laut dan lahan akibat proyek Pelabuhan Makassar New Port, serta di Sulawesi Tenggara akibat reklamasi Teluk Kendari yang menurunkan hasil tangkapan ikan perempuan pesisir.
Di wilayah lain, proyek strategis nasional juga disebut memperburuk krisis pangan. SP mencatat, pembangunan bendungan di Lombok Barat, proyek Food Estate di Kalimantan Tengah, dan ekspansi perkebunan durian di Poso berujung pada kehilangan lahan produktif, rusaknya lingkungan, serta meningkatnya kemiskinan perempuan desa.
“Banyak ibu-ibu kehilangan sumber penghasilan karena pohon aren ditebang untuk proyek bendungan. Sebagian bahkan terpaksa menjadi buruh migran,” ungkap Yayuk Septiana dari SP Mataram.
Solidaritas Perempuan menilai, minimnya partisipasi bermakna perempuan dalam penyusunan kebijakan pangan telah memperparah ketimpangan struktural. Karena itu, SP mendesak pemerintahan Prabowo-Gibran menghentikan praktik autocratic legalism dalam kebijakan agraria, serta menempatkan perempuan sebagai subjek utama dalam tata kelola pangan nasional.***