PALU – Persoalan lahan pembangunan hunian tetap (huntap) untuk korban bencana alam, khususnya di Kelurahan Talise, belum juga tuntas.
Segelintir oknum yang melakukan tindakan memagar lokasi lahan tersebut, telah mengganggu jalannya proses pembangunan huntap yang akan dilakukan oleh Balai Prasarana Pemukiman Wilayah (BPPW) Sulteng sebanyak 3000 unit.
Menanggapi hal itu, salah satu praktisi hukum Sulteng yang juga adalah Wakil Ketua Nusantara Corruption Watch (NCW) Indonesia, Anwar Hakim, mengatakan, persoalan kebencanaan di Sulteng telah melahirkan instruksi Presiden RI tentang percepatan penanganan.
“Kemudian dilakukan tahapan demi tahapan, maka BPN selaku negara yang memiliki kewenangan soal lahan sesuai UU, telah menyerahkan lahan tersebut kepada PUPR. Kemudian PUPR bekerja melaksanakan tugasnya dalam hal ini land clearing. Nah, berarti lahan ini telah dianggap on the track atau tiada masalah lagi mulai dari segi sosial maupun dari segi konteks yuridisnya,” terang Anwar, Sabtu (25/04).
Bahkan, kata dia, pemegang HGB juga sudah menyerahkan lahan tersebut ke pemerintah. Yang menjadi pertanyaan sekarang, lanjut dia, ada beberapa masyarakat yang tiba-tiba mengklaim sebagai pemilik lahan tersebut.
“Masyarakat yang mengklaim ini tidak boleh dibiarkan seperti itu. Aparat penegak hukum harus turun tangan, jangan sampai ada kesan pembiaran di situ,” tegasnya.
Kata Anwar, aparat harus turun dalam rangka upaya prefentif atau pencegahan dengan mengingatkan kepada warga bersangkutan, jika merasa punya hak, untuk menggugat ke pengadilan.
“Kalau sudah diarahkan namun warga masih mengulangi hal itu, maka langkah pengamanan harus diambil. Hal ini bisa jadi penyebab terjadinya chaos antara warga dengan negara. Apalagi di suasana sekarang ini yang sudah tidak nyaman dengan adanya wabah penyakit Covid-19,” tuturnya.
Sekalipun begitu, tambah Anwar, masalah kebencanaan juga problem penting yang sangat mendesak dan tidak bisa dipandang sebelah mata, karena ada landasan Instruksi Presiden RI tentang proses percepatannya.
“NCW dalam hal ini bersikap dan meminta aparat untuk menggiring para warga tersebut untuk melakukan gugatan ke pengadilan. Mestinya, aparat mengantisipasi agar jangan sampai ada oknum yang menghambat percepatan ini,” ujarnya.
Menurutnya, jika masalah lahan ini berlarut-larut, maka penyandang dana, dalam hal ini PUPR yang telah menandatangani MoU dengan World Bank bisa dianggap tidak clear and clean.
“Terlebih lagi saya anggap hal ini sudah kedaluwarsa dan kita bisa jadi tertawaan negara nantinya,” pungkasnya. (HAMID)