Untuk mengatasi keadaan psikologis tersebut, maka sengaja konferensi kerja ke- 2 diadakan di Palu didahului kunjungan Laurens Saerang dengan menghambur-hamburkan uang 1/2 juta rupiah (Rp500 ribu, pen) kepada beberapa orang yang dirasanya perlu dijadikan pion-pion hal mana disusul pemutusan hubungan dengan ibu kota provinsi di Makassar. Berikutnya, markas Permesta dipindahkan ke Manado.
Semula Permesta banyak dukungan dari tokoh-tokoh elite lokal Sulawesi Tengah, termasuk anggota Batalyon Frans Karangan yang bertugas di Sulawesi Tengah sejak tahun 1956.
Pasukan ini melakukan penguasaan wilayah dan menjaga keamanan, masa itu belum banyak tentara ditempatkan di daerah Sulawesi Tengah. Di tengah jalan pada akhir tahun 1957 pasukan Frans Karangan membelok mendukung pemerintah pusat dan berbalik melawan pasukan Resimen Team Pertempuran (RTM) Anoa pimpinan resimen Mayor Wellem D. Gerungan dengan komando pasukan Mayor Lukas J. Palar. RTM Anoa dikenal Batalyon 719 terbagi empat kompi.
Berbaliknya Frans Karangan ke pemerintah diawali perpecahan internal dengan kelompok Resimen Anoa. Iring menilai kesatuan tersebut seakan-akan pasukan asal Toraja dianaktirikan dalam beberapa kebijakan, seperti pembagian senjata dan logistik tidak adil.
“Saya menduga adanya perpecahan internal inilah mendapat bujukan dari pemerintah pusat yang mungkin sebelumnya ada pihak intelijen membaca kondisi ini. Pemerintah pusat melakukan pendekatan pada pasukan kami dengan beberapa kesepakatan, di antaranya disuplai senjata dan amunisi yang banyak. Dengan demikian, resmilah kami bergabung sama pemerintah dengan penghubung dari Markas Besar Angkatan Darat waktu itu adalah Kapten Supangkat,” kisah Iring, beberapa waktu lalu.
Adanya kesepakatan tersebut, Brigjen TNI. Gatot Subroto selaku Kepala Staf Angkatan Darat datang khusus ke pelabuhan Donggala membawa pasukan TNI dan logistik. Ketika itu Gatot Subroto melakukan pertemuan di Kantor Kepala Pemerintahan Negeri (KPN) Donggala, Mohammad Kasim Razak (M.K.Razak) sebelum melanjutkan perjalanan ke Palu.