Para sejarawan membagi kawasan Arab dalam dua bagian, yaitu kawasan gurun dan kawasan subur. Republik Yaman yang berhadapan dengan Teluk Aden di sebelah selatan dan laut merah sebelah barat terletak pada bagian selatan Jazirah Arab sebagai salah satu kawasan subur.

Pada belahan tertentu, daerahnya bergunung-gunung, hijau dan menghasilkan berbagai jenis buah-buahan dan sayur mayur. Salah satu kota pentingnya adalah Kota Aden yang menghadap laut terletak di lembah karang, sebagian orang menyebutnya Lembah Aden.

Nama Teluk Aden sekaligus diabadikan menjadi nama Kota Aden, mirip-mirip nama Teluk Palu dan Kota Palu. Kadua kota tersebut secara kebutulan berada dalam lembah. Kalau di sana ada bendungan Mareb di sini ada Bendungan Gumbasa.

“Republik of Yamen atau Republik Yaman, bernama resmi Al-Jamhuriyah Al-Yamaniyah, memiliki berbagai peradaban tertua. Di zaman kerajaan Sabae (Sheba) pada 900 SM termasuk kerajaan yang paling masyhur yang menguasai seluruh jazirah arab dan bagian timur Afrika termasuk Abisinia (Eropa) dan menguasai jalur-jalur perdagangan antara kawasan Timur dan Barat. Pada zaman itu di bagun puluhan bendungan raksasa, satu di antaranya bendungan Mareb. Kerajaan Sabae merupakan kelanjutan dari kerjaan Maeen, yang kemudian disusul kerajaan Qurban, Hadramaut, Sabae itu sendiri dan Kerajaan Hemyar”1 (Ensiklopedi Nasional Indonesia).

Berawal dari Yaman, tepatnya di Kota Taris Hadramaut, Sang Guru menuruni bukit karang berlembah, meninggalkan daerah subur ber-ibu kota Sana’a, Negara yang mewariskan berbagai fakta kejayaan di zaman keemasan kerjaan Sabae.

Kesuburuan tanah dan cerita kejayaan negerinya, bahkan jabatan strategis setingkat Muftih yang menjanjikan kemuliaan dunia, tidak sanggup menahan gelora dakwah yang berkecamuk dalam benah Sang Pencerah. Bagaikan anak panah, telah terlepas dari busurnya, meluncur deras menuju sasaranya, teramat sulit utuk dihadang apalagi dikembalikan ke busurnya.

Kemungkinan tidak ada seorangpun diantara kita yang mengetahui secara pasti, kenapa Lembah Palu di Indonesia akhirnya menjadi pilihan sasaran pendaratan Sang Guru. Kanapa bukan Wajo (Sengkang) tempat asal Ibunda Sang Guru, atau Solo, atau Pekalongan, atau Tondano,

Minahasa dan tempat-tempat lain yang pernah disinggahi lebih awal, sebelum akhirnya memutuskan Lembah Palu sebagai pusat pergerakan dakwah. “Alhamdulillah, kita abnaul khairaat bersyukur karena dari Hadramaut Allah telah kirimkan seorang ulama hebat ke Indonesia”. Demikian Gufran Ali Ibrahim. Guru Besar Antropologi Linguistik Universitas Khairun Ternate, mengawali Managib Ringkas pada Haul ke 47 Guru Tua.2

Penulis tidak mungkin sanggup menyuguhkan secara utuh rekam jejak perjalanan (rod map) Sang Guru, dari Kota Taris di Hadramaut sampai di Lembah Palu, dengan rentang waktu pergerakan hampir setengah abad, karena berbagai alasan, antara lain;

Terlampau banyak jejak-jejak penting Sang Guru untuk diceritakan satu demi satu, rekaman perjalanan itupun hanya penulis peroleh dari berbagai rangkaian-rangakaian tulisan yang sempat didapatkan.

Pada saat yang sama, minimnya pengetahuan penulis tentang sosok tokoh kharismatik yang penuh inspirasi, karena hanya berbekal sekolah Madrasa Ibtidaiyah Al-Khairat di era akhir tujuh puluhan, sembari menangkap cerita dari mulut ke mulut tentang ketangguhan dan keuletan Sang Guru menyambangi pelosok-pelosok desa di Lembah Palu, dan daerah di sekitar Lembah Palu ketika itu, mengajak dan membimbing umat ke jalan keselamatan dan kebahagiaan dunia akhirat.

Belum lagi sepak terjang Sang Guru menorobos medan dakwah di pedalaman Kalimantan, Ternate, Sulawesi Utara, dan beberapa kawasan di Pulau Jawa bahkan sampai di Irian. Sungguh terlalu banyak untuk dinapak tilas.

Olehnya pada uraian selanjutnya, penulis membatasi diri, ibarat orang mandi di laut, penulis tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk menyelam ke dasar, cukuplah berenang-renang di permukaan, tidak lebih sekadar “melawan lupa” bahwa Lembah Palu pernah menjadi kampus lintasan dakwah Sang Guru hingga di pelosok-pelosok lembah.

Desa-desa yang bertebaran di lembah dijadikan ruang belajar bagaikan sekolah lapang. Dari desa-desa tersebut, dapat dipungut berbagai cerita yang menyejukkan sekaligus mengaggumkan, sekali-sekali di beberapa tempat dan waktu yang berbeda kejadian aneh menyertai dakwah Sang Guru.

Sungguh mencengangkan di hampir setiap kesulitan dakwah menerpa dan melilit Sang Guru, ada-ada saja jalan keluar dalam berbagai bentuk kejadian luar bisa yang sulit dinalar dengan pendekatan logika apapun, orang banyaknya menyebutnya “karomah”.

Bukan karomah “menggandakan uang”, yang kerap kali diperagakan oleh pribadi-pribadi yang tidak taat, dengan kamuflase berbgai gelar beraura kewalian semisal “maulana, kanjeng, sunan” dan lain sejenisnya, tetapi ini karomah menggandakan silaturahmi, melipatgandakan kebajikan dan kemashalahatan umat, demi menggapai keridhaan Zat Yang Maha Berkehendak.

Di banyak tempat di berbagai desa berkembang cerita bersandar realita berbabagai kejadian luar bisa yang lepas dari bingkai nalar manusia. Lembah bertabur karomah, paling tidak “karomah” atas berkah dari ratusan madrasah yang disemai Sang Guru hampir setengah abad, mondar mandir di Lembah Palu, sepanjang hayatnya.

Lembah Palu seakan menjadi demarkasi wilayah “kewalian” Guru Tua, tentunya dengan tidak mengesampingkan peran ulama-ulama lain sebelumnya.

Barangkali atas pemahman ini, Almarhum Gus Dur Presiden RI ke empat ketika hadir membuka STQ di Bukit Jabal Nur Palu, beberpa tahun yang silam, merasa perlu untuk datang menziarahi makam pemilik “wilayah kewalian” sebelum melakukan berbagai aktifitas kenegaraan.

Donggala-Wani-Palu. Inilah titik tiga dimensi yang mengepung Teluk Palu dan menjadi titik lintasan awal dua tahun pertama ketika Guru Tua menapakkan kaki di paruh Sulawesi.

Catatan Nungci H. Ali, sebagaimana dikutip Jamrin Abubakar. Ketika itu 1928, Guru Tua kembali dari Minahasa untuk meneruskan perjalanan ke Surabaya dan transit di pelabuhan Donggala.3

Saat kapal yang ditumpangi sedang lego jangkar untuk bongkar muat dan menaikan penumpang. Tuhan menakdirkan lain, Guru Tua bertemu dengan tiga  tokoh atau pemuka masyarakat asal Wani kemudian terlibat diskusi berbagai hal berkaitan dengan pengembangan dakwah.

Singkat cerita dari hasil diskusi, Sang Guru mengurungkan niat untuk melanjutkan perjalan ke Pulau Jawa. Akhirnya mesin perahu penyeberangan, kemudian menderu memecah riak ombak sembari memotong leher Teluk Palu mengantar Sang Guru bersama Tokoh Wani lainnya melintasi dua Kota Tua Donggala dan Wani.

Wani adalah sebuah Kota Tua di bibir pantai teluk terletak di bagian utara Lembah Palu, menjadi salah satu tempat pendaratan bagi setiap orang atau tamu yang masuk Lembah Palu melalui jalur laut ketika itu.

Sebagai salah satu pelabuhan alternatif selain Donggala, tidak heran kemudian Wani mengalami perkembangan relatif cepat dibanding daerah sekitarnya. Berbagai etnis dan ras, berasimilasi dengan penduduk lokal, melahirkan tokoh-tokoh agama yang berkaliber, salah seorang di antaranya adalah punggawa NU Prof. KH. Ali Yafie.

Kehadiran Sang Guru di Kota Tua Wani, ibarat bertemunya ruas dengan buku. Gayungpun bersambut. Niat transit Guru Tua di Pelabuhan Dongala, berubah jadi mukim di Wani, sulit untuk tidak diakui bahwa semua ini adalah bagian dari rekayasa Tuhan, yang berpadu dengan insting kewalian Sang Guru yang sudah terasah sejak awal.

Lembah Palu menjadi pusat gerakan dakwah, bukan tanpa tantangan. Kondisi sosial masyarakat lembah Palu ktika Sang Guru mencanangkan dakwah dan berbaur dengan penduduk lokal yang sebahagian besar masih akrab dengan  kepercayaan dan keyakinan tradisional, seperti sesajen, balia, dan berbagai jenis Wunja.4

Inilah tantangan internal yang harus diselesaikan dalam bingkai edukasi umat, tentunya dengan penuh kesabaran dan strategi agar tidak menimbulkan gesekan, dengan berbagai stakeholders atau pemangku kepentingan. Di luar sana, ternyata tantangan eksternal jauh lebih kompleks dan menantang.

Betapa tidak “sampai ketika bangsa Indonesia merdeka, Belanda mewariskan tiga sayap organisasi misionaris Kristen di Sulawesi Tengah, yaitu; (1). Indische Kerk (IK), berpusat di daerah Luwuk, (2). Nederlands Zending Genootschap (NZG), berpsat di Tentena, sekarang berubah menjadi GKST, dan (3). Leger Dols Heist (LDH) atau Bala Kesematan (BK), yang berpusat di Kalawar”.5

Tidak heran kemudian, ketika itu Organisasi Keagamaan tertentu setiap hari Jumat dan Senin, memanfaatkan hari-hari tersebut sebagai hari pasar di Kota Palu.

“Mereka berpakaian lengkap spesifik dengan membawa tabur dan memainkannya diikuti nyanyian ritual, kemudian dilanjutkan dengan ceramah agama untuk menarik perhatian masyarakat sekitar Lembah Palu “.6

Insting kewalian Guru Tua, telah mengetahui dan membaca penyebaran agama tertentu yang diusung para Misionaris di kawasan Sulawesi pada umumnya.

Dari arah utara arus Misionaris datang dari Manado, dari arah selatan datang dari Toraja di tengah-tengah ada Tentena.7

Menempatkan pusat pergerakan dakwah Alkhairat di jantung Kota Palu, tidak dimaksudkan sebagai tandingan apalagi perlawanan bagi NZG/GKST, melainkan sebagai “Pelita Umat Islam” untuk menghadirkan suasana keseimbangan religiusitas dalam menuntun umat ke jalan yang benar.8

Dengan demikian jelaslah kehadiran Alkhairat tidak sekadar melindungi umat muslim (To-Kaili) di Lembah Palu dari aqidah yang telah meraka anut jauh sebelumnya, tetapi menjangkau seluruh daerah yang melingkupi Lembah Palu, bahkan sampai di Ternate yang berada dalam bayang-bayang misionaris dari utara Manado dan dari timur Irian Jaya (sekarang Papua).9

Itulah sebabnya hampir setengah abab Guru Tua menghabiskan seluruh energi positifnya, waktu, fikiran, tenaga, dana bahkan semua potensi yang ia miliki dikerahkan untuk melindungi dan menyegarkan aqidah umat dari kemungkinan pencemaran dari dalam dan dari luar. Inilah bukti kecintaan Sang Guru bagi seluruh Abnaul Khairat.

Menariknya, Sang Guru beserta murid-muridnya di tengah-tengah atmosfir perbedaan, mampu membangun komunikasi dengan para pendeta agama lain, tidak ada ketegangan apalagi benturan. Yang terbangun justru kesejukan dan kedamaian.

Bagaikan “mutiara” ahlak mulia akan terus memantulkan kemilau cahayanya ke segala penjuru, tanpa pandang bulu.

Bahkan menurut beberapa catatan, Guru Tua justru mengundang pendeta tertentu menjadi pengajar di Perguruan Alkhairat. Sungguh luar biasa. Guru Tua sangat maklum bahwa tidak ada kedamaian yang dibangun dengan menonjolkan “kekuatan” apalagi kekerasan. Justru senyuman, kelembutan dan persaudaraan menjadi instrumen yang terbingkai dalam ahlakulkarimah pengabdian. Teguh pendirian tapi tidak lantas egois, dermawan tapi tidak boros, tegas tapi tidak kasar, lembut tapi tidak lemah. 

Dengan penuh kedamian Sang Visoioner Guru Tua menggalang dukungan stakeholders terus bergerak berjuang selangkah demi selangkah membangun basis pergerakan guna mewujudkan mimpi-mimpi masa depan umat di Lembah Palu, sebagai landasan gerakan dakwah tahap awal, sebelum menyebar kebarbagai kawasan timur Indonesia, ketika itu.

Penyelamatan umat dari pemurtadan agama lain, bahaya kebodohan, tahayul, kurafat dan sirik menjadi misinya. Keselamatan umat dunia akhirat menjadi visinya, pendidikan dan dakwah implementasi programanya, madrasah menjadi basisnya, tokoh masyarakat menjadi stakeholdersnya.

Keuletan, kesabaran, keikhlasan, dan ketawadhuan menjadi sandaran penrjuangannya. Keridhaan Allah menjadi niat dan motivasinya. Derap langkah pengabdiannya dibalut dengan semangat nasionalisma kebangsaan yang penuh harmoni. Tidak sedikitpun menimbulkan gesekan etnis, agama dan ras.

Prof. Gufran Ali Ibrahim, menyebutkan; Sang Pencerah itu tidak saja memperkenalkan ajaran tauhid yang agung, tetapi telah memperkenalkan Islam etik, penuas bangkitnya semangat nasionalisme, penopang utama tegaknya keindonesiaan.10

Desa menjadi ruang kelasnya, dari desa yang satu ke desa yang lain, disinggahi bersama muridnya satu demi satu secara berulang tanpa lelah. Buasnya gunung kebun kopi di tahun 1938 diseberanginya berhari-hari dengan gerobak, demi menemui umat di seberang gunung.

Semua kesulitan ditelannya dalam diam tanpa berisik, nyaris tidak seorangpun di sekelilingnya yang mengetahui beban berat yang sedang dihadapi Sang Guru, kecuali Ia bersama Rabb-nya.

Pembelajaran yang sangat berharga dalam berikhtiar, ketika ikhlas sudah sampai ke titik dasar, maka sabar menjadi kekuatan selanjutnya.

Hampir tidak ada desa di Lembah Palu yang terlewatkan, bagaikan ruang kelas yang saban hari harus diisi oleh guru kelas. Itulah sosok kharismatik sang teladan yang tidak pernah lelah mengayomi umat, Guruta: Guru Tua.

Lembah Palu bagaikan kampus baginya, sebelum bahkan sambil melebarkan sayap dakwahnya ke berbgai pelososok Sulawesi Tengah, Ternate, Kalimatan, serta Sulsel. Bahkan sampai di ufuk timur Irian, Lembah Palu tetap menjadi basis perjuangannya.

Sang Guru benar-benar tidak kenal lelah, apatah lagi menyerah. Di usia senjanya, ketika tubuh kurusnya yang rentan tinggal ditopang sepotong kayu sebagai tongkat, beliau tetap setia menyapa umat di berbagai ajang dakwah di Lembah Palu, sembari memenej penyebaran ustadz ke berbagai pelosok daerah terpencil di kawasan timur Indonesia.

Dua hal yang cukup berat dilakukan dalam rentang waktu yang hampir bersamaan. Menguatkan landasan dakwah sebagai pusat pergerakan di Lembah Palu, sambil menyiapkan murid sebagai kader “militan” yang siap diterjungkan ke barbagai pelosok mengemban misi dakwah untuk melebarkan sayap guna memperluas jangkauan layanan.

Hal ini, tidak hanya menuntut kepiawaian manjerial tingkat tinggi, tetapi membutuhkan seorang motivator ulung untuk menggerakan tenaga sukarelawan, menjangkau sasaran dakwah terpencil, dengan tingkat kesulitan medan yang cukup berat, di tengah dukungan sarana dan prasarana yang sangat terbatas.

Tidak ada SK, Surat Tugas, apalgi SPPD, SPJ dan berbagai legalitas formal yang biasanya menjadi andalan memuluskan perjalanan dalam tugas tertentu. Cukup berbekal perintah lisan disertai tepukan bahu Sang Guru, perjalanan “dinaspun” dimulai. Bukan untuk sehari dua hari atau seminggu dua minggu. Kadang untuk penugasan berhitung bulan, bahkan berbilang tahun.

Tepukan bahu Sang Guru, mampu memompa semangat para murid, melapangkan hati, meringankan langkah, menyisingkan lengan baju menuju medan dakwah dengan penuh gairah.

Tentunya kita yakin, integritas, loyalitas dan dedikasi tingkat tinggi semacam ini tidak hadir sekonyong-konyong. Sulit rasanya kalau hanya sekadar mengandalkan seminar, workshop, simposium dan berbagai bentuk pertemuan ilmiah lainnya, bahkan mungkin diklat berbulan-bulan sekalipun, tanpa disertai penanaman nilai-nilai pengabdian yang tulus.

Itulah buah dari proses rekruetmen dan tempaan tangan dingin Sang Guru yang didesain dengan sistematis, tearah dan terukur, bebasis manajemen Ilahia. Berpadunya nurani dan rasionalitas, semangat pengabdian ditularkan melalui hati, diterima oleh hati, dan bersama-sama dilaksanakan dengan spenuh hati, oleh guru dan muridnya.

Nurani Membimbing Rasionalitas

Terbentuklah pola pikir baru, medan dakwah yang terjal dan berliku dipandang sebagai tanah lapang garapan dakwah, pelosok yang terpencil justru dijadikan muridnya sebagai arena uji nyali dan kesabaran, kesulitan berubah jadi hiburan, senyapnya daerah terpencil justru dijadikan ajang perenungan untuk muhasabah dunia akhirat.

Sukses mencetak kader “militan” dan menjamah daerah terpencil, diperagakan Guru Tua beserta muridnya dalam sunyi, tanpa publisir apalagi gembar gembor ke sana-sini.

Dalam diam, Guru Tua terus berfikir, berzikir dan berkarya, dan akhirnya berbuah 412 madrasah semasa hidupnya.

Seakan ingin menyimpulkan, Prof. Gufran Ali Ibrahim, mengemukakan, Program “Indonesia Mengajar” yang dirintis Anies Baswedan sebelum dan kini menjadi Mendikbud dengan mengirim guru-guru ke daerah 3T [tertinggal, terpencil, terluar] sudah dilakukan Guru Tua 70 tahun lalu.11 (Manaqib ringkas Haul ke 47 tahun 2015).

Jejak langkah Sang Guru di Lembah Palu dan kawasan timur Indonesia, telah meninggalkan berkah bagi penduduk. Paling tidak berkah dengan berdirinya ratusan madrasah di berbagai tempat strategis, yang pembangunannya diinisiasi langsung Guru Tua semasa hayatnya.

Menurut catatatan pada masa hayatnya, tercatat sudah 412 cabang “Alkhairaat” yang tersebar di daerah operasional yang cukup besar, yaitu Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Maluku dan Irian Jaya.12

Sampai dengan tahun 2014 mencapai 1.600 san, tersebar pada 13 Propinsi di kawasan timur Indonesia.13

Ini menunjukkan bahwa sesungguhnya Perguruan Alkharat bukan hanya milik penduduk Lembah Palu, tetapi milik Bangsa Indonesia secara keseluruhan.

Maka sangat layak kemudian pada tahun 2010 Presiden RI berkenan menganugerahkan tanda kehormatan Bintang Maha Putra Adipradana kepada Guru Tua, disusul dengan penghargaan Pemerintah Daerah melalui penetapan nama Bandara Mutiara SIS Al-Jufri pada tahun 2013.

Hampir bisa dipastikan bahwa segala bentuk penghargaan itu, tidak pernah diminta apalagi diimpikan oleh Sang Guru semasa hidupnya. Tetapi sebagai bangsa yang pandai menghargai pahlawannya, maka penghargaan itu teramat pantas untuk disandangkan kepadanya.

Tidak heran kemudian, sebagai wujud gambaran kedekatan hubungan emosional, maka hampir di setiap rumah penduduk di Lembah Palu, dengan mudah kita menemukan poster Sang Guru dalam berbagai ukuran dan latar belakang. Bukan bermaksud mengultuskan, tetapi itulah salah satu bukti kecintaan dan bentuk lain penyematan penghargaan versi masyarakat atas segala pengorbanan Almukarram semasa hidupnya.

Jejak langkah Sang Pencerah di Lembah Palu, mudah-mudahan tidak hanya sekadar meninggalkan madrasah dalam hitungan angka-angka, tetapi jauh lebih penting adalah spirit yang menjadi oksigen perjuangan yang telah diwariskan Sang Panutan, yang ditandai  dengan semangat.

“Keikhlasan dan kesabaran, satunya kata dan perbuatan, empati dan ramah, peduli dengan kebersihan dan kerapian, luwes dan peduli pendidikan wanita, tidak ada waktu tanpa belajar, berani dan teguh pendirian, konsen pada pendidikan agama, memanfaatkan waktu luang untuk menyalurkan hobi dan kegemaran”.14

Inilah sperangkat nilai yang bagaikan untaian “mutiara” yang diwariskan Sang Garu di setiap jejak langkahnya dalam membangun interaksi kehidupan bermasyarakat yang penuh harmoni.

Value yang membingkai tutur kata, menjaga jejak langkah dalam membumikan gerak dakwah. Untaian mutiara nilai yang memancarkan cahaya kemilau merambah ke seantero lembah, memantul ke pelosok timur Indonesia.

Walau Sang Guru telah tiada, tetapi spirit yang membentuk karakter dan oksigen pengabdian telah Ia wariskan.

Jangan biarkan untaian “mutiara” itu hilang tertelan senyap di Bumi Tadulako. Kita cari, gali dan temukan kembali benih unggul “mutiara” nilai, lalu  kita sebar  dan  semai  kembali  di lahan subur Lembah Palu.

Hari itu, Senin, 12 Syawal 1389 H, bertepatan tanggal 22 Desember 1969 sekitar pukul dua berselang empat puluh menit dinihari, Lembah Palu berselimut duka yang mengharu biru.

Suasana shalat jenazah Habib Sayyid Idrus bin Salim Aljufri. (FOTO: DOK. MEDIA ALKHAIRAAT)

Di keheningan malam menjelang subuh, Almukaram Habib Sayyid Idrus bin Salim Al- Jufri (Guru Tua) memenuhi panggilan Rabb-nya.

Tanpa bantuan alat komunikasi, dengan mengandalkan informasi dari mulut ke mulut, berita duka bgitu cepat merambah di kegelapan subuh yang dingin, menembus dinding-dinding lembah sampai ke seluruh pelosok.

Dalam hitungan jam, ribuan umat menyemut memenuhi pelataran Gedung Alkhairaat, menyebar memadati halaman Stadion Persipal.

Sulit disembunyikan betapa dalam rasa kehilangan warga atas kepergian Sosok Panutan. Air mata keharuan menetes mengiringi perjalanan umat menuju ke tempat duka.

Mereka tidak sekadar hadir, tetapi turut serta dalam shalat jenazah, melepas kepergian ulama sederhana penuh sahaja. Di hadapan 10 ribu lebih umat yang menyolatkan, Sang Teladan penuh kharisma, pamit dan pergi untuk selamanya.

Selamat jalan Ustadz. Tidak sepetak tanah dan bangunan, apalagi mobil mewah, hotel, vila dan berbagai harta dunia yang menyliaukan, yang Guru Tua tinggalkan sebagai hak privatnya.

Sang Guru hanya mewariskan kepada umat dan umarah, ratusan madrasah dan yang terpenting adalah “Mutiara” nilai yang memantulkan keluasan pandangan, ketajaman gagasan, kesejukan ucapan, keramahan tindakan dan keteguhan pendirian yang mengkafani semangat pengabdian.

Satu-satunya hak pribadi yang Guru Tua tinggalkan adalah semerbak semburan “nama harum” Sang Penganjur Kebajikan ke seantero lembah.

Meskipun mutiara terbenam di dasar laut, kilauan cahayanya akan selalu memantul, merembes dan menembus permukaan.

Kami tak’zim di setiap haulmu, Kami datang berwsiata religi di komplek makammu. Selamat jalan Sang Guru, merekah manis, seyum Malaikat Ridwan menyambutmu di pintu Sorga.

Salam rindu berbalut do’a dari kami abnaul yang akan menyusulmu. Amin.

PENULIS: Bahrun. ML

DAFTAR  KUTIPAN:

1). Enseklopedia Nasional Indonesia, hal, 2).  Gufran Ali Ibrahim, Managib Ringkas pada Haul ke 47 Guru Tua. 3). Jamrin Abubakar, Guru Tua Pahlawan Sepanjang Zaman, Ladang Pustaka, 2012, hal, 6. 4). Tim Penulis, Sayid Idrus Bin Salim Al Jufri Pendiri Alkhairat Dan Kontribusinya Dalam Pembinaan Umat, Gaung Persad (GP) Press Jakarta, 2014. lihat halaman 25 Wunja dibagi tiga ; wunja wulu watu, wunja sampai nokiyo, wunja batang pingang atau kelapa. 5). Ibid, hal, 118. 6. Ibid.  7).Ibid. lihat Sub Judul point 4. Toleransi Umat Beragama, hal, 117-121. 8).  Ibid. 9).  Ibid. 10). Opcit, Managib Ringkas. 11). Ibid, Managib Ringkas. 12.Opcit, Tim Penulis, Sayid Idrus Bin Salim Al Jufri Pendiri Alkhairat Dan Kontribusinya Dalam Pembinaan Umut, hal, 23-24. 13). Ibid, hlm, 122.  14). Ibid, Lihat Sub Bahasan F. Sifat dan Karakter Sayid Idrus bin Salim Al Jufri. hal, 28-38.