Nurani Membimbing Rasionalitas
Terbentuklah pola pikir baru, medan dakwah yang terjal dan berliku dipandang sebagai tanah lapang garapan dakwah, pelosok yang terpencil justru dijadikan muridnya sebagai arena uji nyali dan kesabaran, kesulitan berubah jadi hiburan, senyapnya daerah terpencil justru dijadikan ajang perenungan untuk muhasabah dunia akhirat.
Sukses mencetak kader “militan” dan menjamah daerah terpencil, diperagakan Guru Tua beserta muridnya dalam sunyi, tanpa publisir apalagi gembar gembor ke sana-sini.
Dalam diam, Guru Tua terus berfikir, berzikir dan berkarya, dan akhirnya berbuah 412 madrasah semasa hidupnya.
Seakan ingin menyimpulkan, Prof. Gufran Ali Ibrahim, mengemukakan, Program “Indonesia Mengajar” yang dirintis Anies Baswedan sebelum dan kini menjadi Mendikbud dengan mengirim guru-guru ke daerah 3T [tertinggal, terpencil, terluar] sudah dilakukan Guru Tua 70 tahun lalu.11 (Manaqib ringkas Haul ke 47 tahun 2015).
Jejak langkah Sang Guru di Lembah Palu dan kawasan timur Indonesia, telah meninggalkan berkah bagi penduduk. Paling tidak berkah dengan berdirinya ratusan madrasah di berbagai tempat strategis, yang pembangunannya diinisiasi langsung Guru Tua semasa hayatnya.
Menurut catatatan pada masa hayatnya, tercatat sudah 412 cabang “Alkhairaat” yang tersebar di daerah operasional yang cukup besar, yaitu Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Maluku dan Irian Jaya.12
Sampai dengan tahun 2014 mencapai 1.600 san, tersebar pada 13 Propinsi di kawasan timur Indonesia.13
Ini menunjukkan bahwa sesungguhnya Perguruan Alkharat bukan hanya milik penduduk Lembah Palu, tetapi milik Bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Maka sangat layak kemudian pada tahun 2010 Presiden RI berkenan menganugerahkan tanda kehormatan Bintang Maha Putra Adipradana kepada Guru Tua, disusul dengan penghargaan Pemerintah Daerah melalui penetapan nama Bandara Mutiara SIS Al-Jufri pada tahun 2013.
Hampir bisa dipastikan bahwa segala bentuk penghargaan itu, tidak pernah diminta apalagi diimpikan oleh Sang Guru semasa hidupnya. Tetapi sebagai bangsa yang pandai menghargai pahlawannya, maka penghargaan itu teramat pantas untuk disandangkan kepadanya.
Tidak heran kemudian, sebagai wujud gambaran kedekatan hubungan emosional, maka hampir di setiap rumah penduduk di Lembah Palu, dengan mudah kita menemukan poster Sang Guru dalam berbagai ukuran dan latar belakang. Bukan bermaksud mengultuskan, tetapi itulah salah satu bukti kecintaan dan bentuk lain penyematan penghargaan versi masyarakat atas segala pengorbanan Almukarram semasa hidupnya.