Kehadiran Sang Guru di Kota Tua Wani, ibarat bertemunya ruas dengan buku. Gayungpun bersambut. Niat transit Guru Tua di Pelabuhan Dongala, berubah jadi mukim di Wani, sulit untuk tidak diakui bahwa semua ini adalah bagian dari rekayasa Tuhan, yang berpadu dengan insting kewalian Sang Guru yang sudah terasah sejak awal.

Lembah Palu menjadi pusat gerakan dakwah, bukan tanpa tantangan. Kondisi sosial masyarakat lembah Palu ktika Sang Guru mencanangkan dakwah dan berbaur dengan penduduk lokal yang sebahagian besar masih akrab dengan  kepercayaan dan keyakinan tradisional, seperti sesajen, balia, dan berbagai jenis Wunja.4

Inilah tantangan internal yang harus diselesaikan dalam bingkai edukasi umat, tentunya dengan penuh kesabaran dan strategi agar tidak menimbulkan gesekan, dengan berbagai stakeholders atau pemangku kepentingan. Di luar sana, ternyata tantangan eksternal jauh lebih kompleks dan menantang.

Betapa tidak “sampai ketika bangsa Indonesia merdeka, Belanda mewariskan tiga sayap organisasi misionaris Kristen di Sulawesi Tengah, yaitu; (1). Indische Kerk (IK), berpusat di daerah Luwuk, (2). Nederlands Zending Genootschap (NZG), berpsat di Tentena, sekarang berubah menjadi GKST, dan (3). Leger Dols Heist (LDH) atau Bala Kesematan (BK), yang berpusat di Kalawar”.5

Tidak heran kemudian, ketika itu Organisasi Keagamaan tertentu setiap hari Jumat dan Senin, memanfaatkan hari-hari tersebut sebagai hari pasar di Kota Palu.

“Mereka berpakaian lengkap spesifik dengan membawa tabur dan memainkannya diikuti nyanyian ritual, kemudian dilanjutkan dengan ceramah agama untuk menarik perhatian masyarakat sekitar Lembah Palu “.6

Insting kewalian Guru Tua, telah mengetahui dan membaca penyebaran agama tertentu yang diusung para Misionaris di kawasan Sulawesi pada umumnya.

Dari arah utara arus Misionaris datang dari Manado, dari arah selatan datang dari Toraja di tengah-tengah ada Tentena.7

Menempatkan pusat pergerakan dakwah Alkhairat di jantung Kota Palu, tidak dimaksudkan sebagai tandingan apalagi perlawanan bagi NZG/GKST, melainkan sebagai “Pelita Umat Islam” untuk menghadirkan suasana keseimbangan religiusitas dalam menuntun umat ke jalan yang benar.8

Dengan demikian jelaslah kehadiran Alkhairat tidak sekadar melindungi umat muslim (To-Kaili) di Lembah Palu dari aqidah yang telah meraka anut jauh sebelumnya, tetapi menjangkau seluruh daerah yang melingkupi Lembah Palu, bahkan sampai di Ternate yang berada dalam bayang-bayang misionaris dari utara Manado dan dari timur Irian Jaya (sekarang Papua).9

Itulah sebabnya hampir setengah abab Guru Tua menghabiskan seluruh energi positifnya, waktu, fikiran, tenaga, dana bahkan semua potensi yang ia miliki dikerahkan untuk melindungi dan menyegarkan aqidah umat dari kemungkinan pencemaran dari dalam dan dari luar. Inilah bukti kecintaan Sang Guru bagi seluruh Abnaul Khairat.

Menariknya, Sang Guru beserta murid-muridnya di tengah-tengah atmosfir perbedaan, mampu membangun komunikasi dengan para pendeta agama lain, tidak ada ketegangan apalagi benturan. Yang terbangun justru kesejukan dan kedamaian.

Bagaikan “mutiara” ahlak mulia akan terus memantulkan kemilau cahayanya ke segala penjuru, tanpa pandang bulu.

Bahkan menurut beberapa catatan, Guru Tua justru mengundang pendeta tertentu menjadi pengajar di Perguruan Alkhairat. Sungguh luar biasa. Guru Tua sangat maklum bahwa tidak ada kedamaian yang dibangun dengan menonjolkan “kekuatan” apalagi kekerasan. Justru senyuman, kelembutan dan persaudaraan menjadi instrumen yang terbingkai dalam ahlakulkarimah pengabdian. Teguh pendirian tapi tidak lantas egois, dermawan tapi tidak boros, tegas tapi tidak kasar, lembut tapi tidak lemah. 

Dengan penuh kedamian Sang Visoioner Guru Tua menggalang dukungan stakeholders terus bergerak berjuang selangkah demi selangkah membangun basis pergerakan guna mewujudkan mimpi-mimpi masa depan umat di Lembah Palu, sebagai landasan gerakan dakwah tahap awal, sebelum menyebar kebarbagai kawasan timur Indonesia, ketika itu.

Penyelamatan umat dari pemurtadan agama lain, bahaya kebodohan, tahayul, kurafat dan sirik menjadi misinya. Keselamatan umat dunia akhirat menjadi visinya, pendidikan dan dakwah implementasi programanya, madrasah menjadi basisnya, tokoh masyarakat menjadi stakeholdersnya.

Keuletan, kesabaran, keikhlasan, dan ketawadhuan menjadi sandaran penrjuangannya. Keridhaan Allah menjadi niat dan motivasinya. Derap langkah pengabdiannya dibalut dengan semangat nasionalisma kebangsaan yang penuh harmoni. Tidak sedikitpun menimbulkan gesekan etnis, agama dan ras.

Prof. Gufran Ali Ibrahim, menyebutkan; Sang Pencerah itu tidak saja memperkenalkan ajaran tauhid yang agung, tetapi telah memperkenalkan Islam etik, penuas bangkitnya semangat nasionalisme, penopang utama tegaknya keindonesiaan.10

Desa menjadi ruang kelasnya, dari desa yang satu ke desa yang lain, disinggahi bersama muridnya satu demi satu secara berulang tanpa lelah. Buasnya gunung kebun kopi di tahun 1938 diseberanginya berhari-hari dengan gerobak, demi menemui umat di seberang gunung.

Semua kesulitan ditelannya dalam diam tanpa berisik, nyaris tidak seorangpun di sekelilingnya yang mengetahui beban berat yang sedang dihadapi Sang Guru, kecuali Ia bersama Rabb-nya.

Pembelajaran yang sangat berharga dalam berikhtiar, ketika ikhlas sudah sampai ke titik dasar, maka sabar menjadi kekuatan selanjutnya.

Hampir tidak ada desa di Lembah Palu yang terlewatkan, bagaikan ruang kelas yang saban hari harus diisi oleh guru kelas. Itulah sosok kharismatik sang teladan yang tidak pernah lelah mengayomi umat, Guruta: Guru Tua.

Lembah Palu bagaikan kampus baginya, sebelum bahkan sambil melebarkan sayap dakwahnya ke berbgai pelososok Sulawesi Tengah, Ternate, Kalimatan, serta Sulsel. Bahkan sampai di ufuk timur Irian, Lembah Palu tetap menjadi basis perjuangannya.

Sang Guru benar-benar tidak kenal lelah, apatah lagi menyerah. Di usia senjanya, ketika tubuh kurusnya yang rentan tinggal ditopang sepotong kayu sebagai tongkat, beliau tetap setia menyapa umat di berbagai ajang dakwah di Lembah Palu, sembari memenej penyebaran ustadz ke berbagai pelosok daerah terpencil di kawasan timur Indonesia.

Dua hal yang cukup berat dilakukan dalam rentang waktu yang hampir bersamaan. Menguatkan landasan dakwah sebagai pusat pergerakan di Lembah Palu, sambil menyiapkan murid sebagai kader “militan” yang siap diterjungkan ke barbagai pelosok mengemban misi dakwah untuk melebarkan sayap guna memperluas jangkauan layanan.

Hal ini, tidak hanya menuntut kepiawaian manjerial tingkat tinggi, tetapi membutuhkan seorang motivator ulung untuk menggerakan tenaga sukarelawan, menjangkau sasaran dakwah terpencil, dengan tingkat kesulitan medan yang cukup berat, di tengah dukungan sarana dan prasarana yang sangat terbatas.

Tidak ada SK, Surat Tugas, apalgi SPPD, SPJ dan berbagai legalitas formal yang biasanya menjadi andalan memuluskan perjalanan dalam tugas tertentu. Cukup berbekal perintah lisan disertai tepukan bahu Sang Guru, perjalanan “dinaspun” dimulai. Bukan untuk sehari dua hari atau seminggu dua minggu. Kadang untuk penugasan berhitung bulan, bahkan berbilang tahun.

Tepukan bahu Sang Guru, mampu memompa semangat para murid, melapangkan hati, meringankan langkah, menyisingkan lengan baju menuju medan dakwah dengan penuh gairah.

Tentunya kita yakin, integritas, loyalitas dan dedikasi tingkat tinggi semacam ini tidak hadir sekonyong-konyong. Sulit rasanya kalau hanya sekadar mengandalkan seminar, workshop, simposium dan berbagai bentuk pertemuan ilmiah lainnya, bahkan mungkin diklat berbulan-bulan sekalipun, tanpa disertai penanaman nilai-nilai pengabdian yang tulus.

Itulah buah dari proses rekruetmen dan tempaan tangan dingin Sang Guru yang didesain dengan sistematis, tearah dan terukur, bebasis manajemen Ilahia. Berpadunya nurani dan rasionalitas, semangat pengabdian ditularkan melalui hati, diterima oleh hati, dan bersama-sama dilaksanakan dengan spenuh hati, oleh guru dan muridnya.