Desa-desa yang bertebaran di lembah dijadikan ruang belajar bagaikan sekolah lapang. Dari desa-desa tersebut, dapat dipungut berbagai cerita yang menyejukkan sekaligus mengaggumkan, sekali-sekali di beberapa tempat dan waktu yang berbeda kejadian aneh menyertai dakwah Sang Guru.
Sungguh mencengangkan di hampir setiap kesulitan dakwah menerpa dan melilit Sang Guru, ada-ada saja jalan keluar dalam berbagai bentuk kejadian luar bisa yang sulit dinalar dengan pendekatan logika apapun, orang banyaknya menyebutnya “karomah”.
Bukan karomah “menggandakan uang”, yang kerap kali diperagakan oleh pribadi-pribadi yang tidak taat, dengan kamuflase berbgai gelar beraura kewalian semisal “maulana, kanjeng, sunan” dan lain sejenisnya, tetapi ini karomah menggandakan silaturahmi, melipatgandakan kebajikan dan kemashalahatan umat, demi menggapai keridhaan Zat Yang Maha Berkehendak.
Di banyak tempat di berbagai desa berkembang cerita bersandar realita berbabagai kejadian luar bisa yang lepas dari bingkai nalar manusia. Lembah bertabur karomah, paling tidak “karomah” atas berkah dari ratusan madrasah yang disemai Sang Guru hampir setengah abad, mondar mandir di Lembah Palu, sepanjang hayatnya.
Lembah Palu seakan menjadi demarkasi wilayah “kewalian” Guru Tua, tentunya dengan tidak mengesampingkan peran ulama-ulama lain sebelumnya.
Barangkali atas pemahman ini, Almarhum Gus Dur Presiden RI ke empat ketika hadir membuka STQ di Bukit Jabal Nur Palu, beberpa tahun yang silam, merasa perlu untuk datang menziarahi makam pemilik “wilayah kewalian” sebelum melakukan berbagai aktifitas kenegaraan.
Donggala-Wani-Palu. Inilah titik tiga dimensi yang mengepung Teluk Palu dan menjadi titik lintasan awal dua tahun pertama ketika Guru Tua menapakkan kaki di paruh Sulawesi.
Catatan Nungci H. Ali, sebagaimana dikutip Jamrin Abubakar. Ketika itu 1928, Guru Tua kembali dari Minahasa untuk meneruskan perjalanan ke Surabaya dan transit di pelabuhan Donggala.3
Saat kapal yang ditumpangi sedang lego jangkar untuk bongkar muat dan menaikan penumpang. Tuhan menakdirkan lain, Guru Tua bertemu dengan tiga tokoh atau pemuka masyarakat asal Wani kemudian terlibat diskusi berbagai hal berkaitan dengan pengembangan dakwah.
Singkat cerita dari hasil diskusi, Sang Guru mengurungkan niat untuk melanjutkan perjalan ke Pulau Jawa. Akhirnya mesin perahu penyeberangan, kemudian menderu memecah riak ombak sembari memotong leher Teluk Palu mengantar Sang Guru bersama Tokoh Wani lainnya melintasi dua Kota Tua Donggala dan Wani.
Wani adalah sebuah Kota Tua di bibir pantai teluk terletak di bagian utara Lembah Palu, menjadi salah satu tempat pendaratan bagi setiap orang atau tamu yang masuk Lembah Palu melalui jalur laut ketika itu.
Sebagai salah satu pelabuhan alternatif selain Donggala, tidak heran kemudian Wani mengalami perkembangan relatif cepat dibanding daerah sekitarnya. Berbagai etnis dan ras, berasimilasi dengan penduduk lokal, melahirkan tokoh-tokoh agama yang berkaliber, salah seorang di antaranya adalah punggawa NU Prof. KH. Ali Yafie.