Berawal dari Yaman, tepatnya di Kota Taris Hadramaut, Sang Guru menuruni bukit karang berlembah, meninggalkan daerah subur ber-ibu kota Sana’a, Negara yang mewariskan berbagai fakta kejayaan di zaman keemasan kerjaan Sabae.
Kesuburuan tanah dan cerita kejayaan negerinya, bahkan jabatan strategis setingkat Muftih yang menjanjikan kemuliaan dunia, tidak sanggup menahan gelora dakwah yang berkecamuk dalam benah Sang Pencerah. Bagaikan anak panah, telah terlepas dari busurnya, meluncur deras menuju sasaranya, teramat sulit utuk dihadang apalagi dikembalikan ke busurnya.
Kemungkinan tidak ada seorangpun diantara kita yang mengetahui secara pasti, kenapa Lembah Palu di Indonesia akhirnya menjadi pilihan sasaran pendaratan Sang Guru. Kanapa bukan Wajo (Sengkang) tempat asal Ibunda Sang Guru, atau Solo, atau Pekalongan, atau Tondano,
Minahasa dan tempat-tempat lain yang pernah disinggahi lebih awal, sebelum akhirnya memutuskan Lembah Palu sebagai pusat pergerakan dakwah. “Alhamdulillah, kita abnaul khairaat bersyukur karena dari Hadramaut Allah telah kirimkan seorang ulama hebat ke Indonesia”. Demikian Gufran Ali Ibrahim. Guru Besar Antropologi Linguistik Universitas Khairun Ternate, mengawali Managib Ringkas pada Haul ke 47 Guru Tua.2
Penulis tidak mungkin sanggup menyuguhkan secara utuh rekam jejak perjalanan (rod map) Sang Guru, dari Kota Taris di Hadramaut sampai di Lembah Palu, dengan rentang waktu pergerakan hampir setengah abad, karena berbagai alasan, antara lain;
Terlampau banyak jejak-jejak penting Sang Guru untuk diceritakan satu demi satu, rekaman perjalanan itupun hanya penulis peroleh dari berbagai rangkaian-rangakaian tulisan yang sempat didapatkan.
Pada saat yang sama, minimnya pengetahuan penulis tentang sosok tokoh kharismatik yang penuh inspirasi, karena hanya berbekal sekolah Madrasa Ibtidaiyah Al-Khairat di era akhir tujuh puluhan, sembari menangkap cerita dari mulut ke mulut tentang ketangguhan dan keuletan Sang Guru menyambangi pelosok-pelosok desa di Lembah Palu, dan daerah di sekitar Lembah Palu ketika itu, mengajak dan membimbing umat ke jalan keselamatan dan kebahagiaan dunia akhirat.
Belum lagi sepak terjang Sang Guru menorobos medan dakwah di pedalaman Kalimantan, Ternate, Sulawesi Utara, dan beberapa kawasan di Pulau Jawa bahkan sampai di Irian. Sungguh terlalu banyak untuk dinapak tilas.
Olehnya pada uraian selanjutnya, penulis membatasi diri, ibarat orang mandi di laut, penulis tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk menyelam ke dasar, cukuplah berenang-renang di permukaan, tidak lebih sekadar “melawan lupa” bahwa Lembah Palu pernah menjadi kampus lintasan dakwah Sang Guru hingga di pelosok-pelosok lembah.