OLEH: S. Ahmad Muthahar Aljufrie, Lc., M.A.
Dalam satu headline berita yang dimuat disalah satu media mainstream saya membaca seorang guru yang dipolisikan oleh orang tua siswa dikarenakan guru tersebut “mencubit” anaknya.
Seketika saya nostalgia teringat ketika masa sekolah entah berapa kali dicubit oleh guru, saya tak mengadukan hal tersebut kepada orang tua saya, khawatir cubitan episode 2 akan melayang ke tubuh saya.
Tapi, dewasa ini kasus pemolisian guru, atau kasus perseteruan antara orang tua murid dan guru mulai santer terdengar, saya mengamati bahwa terjadinya fenomena ini disebabkan oleh dua hal:
1. Ketidaktahuan Orang Tua terhadap Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan dalam Islam adalah atta’diib yaitu menjadikan anak yang beradab, Nabi bersabda:
حسنوا أخلاقكم
“Perbaikilah akhlak kalian”
Tentu hal itu berfokus pada pembentukan karakter anak, membentuk karakter tidaklah mudah, perlu waktu cukup lama dan proses yang panjang, ditambah perlu kesungguhan dari guru, peserta didik dan dukungan dari orang tua.
Guru yang sungguh-sungguh tapi tak mendapatkan dukungan orang tua tak akan berhasil. Tapi dengan bantuan orang tua, pendidikan akan sukses.
Sultan Muhammad Alfatih adalah contoh keberhasilan pendidikan karena didukung tiga unsur utama, guru yang hebat, murid yang taat, dan orang tua yang mendukung guru dan anaknya.
Dalam sejarahnya, Sultan Muhammad Alfatih dibawa oleh ayahnya kepada salah seorang guru spiritual. Ketika sampai di depan guru tersebut, sang ayah mengatakan “Didiklah anak ini, pukulah dia kalau dia salah,” seraya memberi guru tersebut sebatang kayu.
Tentu kisah ini bukan dalil bagi guru untuk senaknya memukul murid, karena ulama telah memberikan syarat syarat kapan pendidik boleh memukul anak didiknya. Bahkan ulama juga memberikan ketentuan akan kekuatan pukulan yang dilayangkan guru.
Tapi, kisah ini menjadi bukti bagaimana dukungan penuh kepada orang tua dapat menjadikan anak tersebut sukses dan berhasil. Bahkan menurut pendapat ulama, Sultan Muhammad Alfatih adalah pemimpin yang disebutkan Nabi dalam sabdanya:
لَتُفْتَحَنَّ القُسطَنْطِينِيَّةُ فلنعمَ الأميرُ أميرُها ولنعمَ الجيشُ ذلك الجيش
“Sungguh Konstantinopel akan ditaklukkan, sebaik-baik amir (pemimpin) adalah amir yang memimpin penaklukannya dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan itu”. (HR Ahmad).
Al-Qur’an telah mengisyaratkan bahwa pendidikan berbasis adab membutuhkan kesabaran, hal ini tercantum dalam surah alkahfi, ketika Nabi Musa berhasil mendapatkan guru yang bisa mengajarinya, Khidir menolaknya dengan beralasan:
إنك لن تستطيع معي صبرا
”Engkau tidak akan sangup sabar berguru kepadaku.”
Tentu, Khidir bukan menolak permintaan belajar, tapi semata mata hal tersebut diucapkan oleh khidr demi menguji kesungguhan sang murid, karena tanpa kesunguhan maka proses pembelajaran hanyalah sia sia. Nabi musa mencoba meyakinkan sang guru dengan mengatakan:
ستجدني إن شاء الله صابرا ولا أعصي لك أمرا
”Engkau akan mendapatiku- insya Allah- sebagai orang yang sabar dan tak akan melawan perintahmu. “
Setelah melihat tekad yang kuat dari Nabi Musa, khidr menerimanya tapi dengan persyaratan:
فإن اتبعتني فلا تسألني عن شيء حتى أحدث لك منه ذكرا
Jika engkau mengikutiku, jangan bertanya hingga aku menceritakannya kepadamu.
Khidir ingin menjelaskan, bahwa dalam pendidikan terdapat persyaratan- persyaratan dari guru, dan persyaratan tersebut harus dipatuhi oleh murid.
Melangar peraturan atau tidak bersabar merupakan penyebab terputusnya hubungan dengan guru, sebagaimana yang disebutkan dalam lanjutan kisah antara khidr dan musa, ketika musa terus terusan melangar aturan khidr:
قال هذا فراق بيني وبينك
Khidr mengatakan ini adalah perpisahanku denganmu. Terputusnya hubungan berarti terputusnya pendidikan.
Oleh karena itu dalam pendidikan dibutuhkan tekad yang kuat, sabar, dan taat pada peraturan guru. Itu merupakan kunci kesuksesan dari pembelajaran yang berbasis adab. Sunguh-sungguh tanpa kesabaran akan gagal, dan sunguh2 tapi melanggar peraturan guru tak akan membuahkan hasil, kerna salah satu tujuan pembelajaran ialah:
إخراج المكلف عن داعية هواه
“Mengeluarkan hawa nafsu, amarah dari jiwa seseorang.”
Melawan dan mengeluarkan Hawa nafsu dari jiwa merupakan hal yang paling sulit, prosesnya panjang, jalannya berliku, diperlukan kesungguhan dari orang tua dan murid, dan bantuan dari orang tua.
Membela kesalahan anak, memanjakan mereka, dan tidak meneruskan usaha guru dalam mendidik anak, akan merusak proses pembelajaran, dan bisa jadi simurid gagal dalam proses pembentukan karakter.
Orang tua jangan hanya berfokus untuk memberikan materi dan pengembangan jasmani, tapi bimbingan rohani juga harus diperhatikan, orang tua jangan hanya menanyakan makanan apa yang kau makan di pesantren nak! Apa alas tidurmu nak? Pertanyaan pertanyaann bersifat materi, tak membantu tugas guru, tapi tanyakanlah: berapa rakaat witr dan tahajudmu nak? Kitab kitab apa saja yang sudah kau khatamkan? Bagaimana hubunganmu dengan gurumu? Itulah jenis pertanyaan yang berbobot, yang mulai hilang dari benak orang tua.
2. Kesalahan Dalam Cara Memandang Sesuatu
Cara pandang islami (Worldview Islamic) merupakan cara pandang yang dapat menyelamatkan seorang muslim, dan seorang muslim wajib mengetahui bahwa cara pandang muslim terhadap ilmu bukan suatu proses untuk mendapatkan ijazah, lalu mendapatkan pekerjaan yang bagus.
Tapi seorang muslim harus mengetahui bahwa tujuan ilmu adalah pembentukan rohani, akli, dan jasmani, dan puncak tertinggi ilmu ialah mengenal Tuhan-nya dan melakukan amal ibadah dengan menggunakan konsep ihsan:
أن تعبد الله كأنك تراه
“Engkau menyembah Allah seakan akan engkau melihat-NYA”
Seorang muslim yang mengetahui hakikat ilmu, tahu betul sulitnya mendidik jiwa, dan diperlukan waktu yang lama, disamping itu guru juga perlu memberikan hukuman kepada murid jika guru melihat hukuman tersebut dapat memberikan efek jera terhadap murid.
Tapi, seorang yang mengunakan cara pandang materi, melihat pendidikan hanyalah proses pentrasferan ilmu (tanpa nilai nilai) dan cara untuk mendapatkan keuntungan duniawi, jelas orang yang memiliki cara pandang seperti ini berangapan bahwa menghukum murid sebuah tindakan yang melewati batas, dan mengangap bahwa si guru perlu mendapatkan teguran bahkan tindakan, itulah bahayanya worldview sekuler.
Pendidikan Islam berfokus kepada penanaman adab, dan memberikan pemahaman akan tujuan dari hidup. Tapi bukan berarti pendidikan Islam mengabaikan materi, pendidikan Islam hanya ingin mengeluarkan materi dari hati pemeluknya, tapi tak ingin membuatnya terlepas dari dunia, dan tentunya proses pendidikan jiwa tersebut membutuhkan waktu dan usaha.
Oleh karena itu, pendidikan Islam akan gagal jika dibangun diatas konsep yang salah, yaitu konsep yang tidak mengantarkan murid menjadi bertakwa. Dan tentunya konsep ini harus dipahami oleh orang tua, agar konsep ini telah tertanam dijiwa murid sebelum Ia masuk sekolah, dan pembelajaran terhadap murid tak terhenti dipesantren atau di sekolah tapi terus berlanjut walaupun si anak telah kembali kerumah.
Dan untuk menerapkan konsep ini, orang tua tak harus menjadi alim bak ulama, karena banyak dari ulama dilahirkan bukan dari keluarga ulama, bahkan dari ulama ulama hebat ada yang berasal dari budak. tapi, yang terpenting adalah menamakan 3 hal pada anak, 3 hal tersebut ialah:
- Keteladanan
- Disiplin
- Penanaman nilai nilai sejak dini.
Jika tiga poin ditanam sejak dini, kemudian dikembangkan oleh guru, maka pendidikan kita akan membangun peradaban hebat. ***