PALU – Pengadilan Negeri (PN) Palu, Selasa (14/11), kembali menggelar sidang gugatan praperadilan yang dilayangkan Niharti Latief (pemohon) terhadap Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Palu. Gugatan ini terkait penetapan tersangka (pemohon) oleh BPOM Palu, atas proses penyidikan kepemilikan 1459 tablet Paracetamol, Cafein, dan Carisoprodol (PCC).
Sidang dipimpin hakim tunggal Dede Halim kali ini, beragendakan pemeriksaan bukti surat dari termohon (BPOM Palu), dihadiri kedua pihak, masing-masing pemohon dan termohon.
Usai dilakukan pemeriksaan bukti surat dari termohon, dilanjutkan dengan pendapat ahli dan pemeriksaan saksi. Termohon menghadirkan ahli apoteker Jamaludin dan saksi Ferly (pengawas) dan Intan (penyidik) dari BPOM Palu.
Dalam pendapatnya sebagai ahli, Jamaludin mengatakan, dalam pasal 108 Undang-Undang nomor 36 tahun 2009, tentang Kesehatan, meliputi diantaranya pendistribuan obat, pelayanan obat atas resep dokter harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan seperti apoteker atau tenaga teknis kefarmasian.
“Bila hal itu tidak dilakukan apoteker, tapi oleh orang tidak punya keahlian dan kewenangan maka ancamannya pidana,” kata Jamaludin, sekaligus Ketua Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Sulteng.
Jamaludin juga mengatakan, seorang apoteker bisa bekerjasama dengan orang lain, bila tidak memiliki modal dalam membuka usaha apotik. Hanya saja persediaan, segala obat di apotik harus sepengetahuan apoteker dan disampaikan pemilik modal.
“Bila hal itu tidak dilakukan dan terjadi sesuatu hal berdampak hukum di kemudian hari bukan menjadi tanggungjawab apoteker,” katanya.
Jamaludin mengatakan, PCC bukan merupakan obat, tapi sediannya farmasi dan tidak terdafatar di BPOM.
Ada dua efek ditimbulkan dari mengkonsumsi PCC untuk relaksasi (pelemasan otot-otot) dan bila dikonsumsi melebihi dosis akan berdampak prilaku tidak terkontrol (ngelantur seperti orang gila).
Usai pendapat ahli, dilanjutkan dengan pemeriksaan saksi Ferly (pengawas) dan Intan (penyidik). Dalam kesaksianya Ferly mengatakan, awalnya pihaknya bersama Dinkes Palu mendatangi apotik Medika Farma, guna melakuakn intensifikasi pengawasan rutin.
“Pengawasan ini dilakukan berdasarkan analisis resiko serta laporan masyarakat,” kata Ferly.
Usai menunjuk surat tugas, pihaknya kemudian melakukan pemeriksaan dimulai dengan mendata segala perijinan, hingga produk obat yang dijual. Sampai kemudian petugas menemukan sebuah tas tergeletak di atas dos obat-obatan.
Atas temuan itu, petugas pun meminta kepada penjaga apotik untuk membuka apa isi dari tas tersebut. Hasilnya didapatkan bungkusan tanpa identitas telah dipaket. Ada paket isi tiga butir, dan isi lima butir tablet putih bertuliskan PCC. Semuanya berjumlah sekitar 1459 tablet. Petugas pun lalu membuatkan berita acara temuan tersebut dan disampaikan kepada pimpinan BPOM Palu.
Sementara Intan mengatakan, berdasarkan hasil laporan dari petugas dan berbekal surat penyidikan, dirinya turun ke lokasi guna melakukan penyidikan. Hasilnya sama, didapatkan tablet PCC sesuai hasil laporan. Kemudian, petugas melakukan penyitaan.
“Setelah melalui serangkaian proses dan hasil wawancara kepada saksi dan pemilik barang, maka ditetapkanlah tersangkanya,” imbuhnya.
Pemohon dalam gugatan petittum permohonanya , menyatakan, surat Perintah Penyidikan Nomor : 02/SP-SIDIK/PPNS-BPOM/VIII/2017 tanggal 14 Agustus 2017 yang menetapkan Pemohon sebagai Tersangka oleh Termohon terkait peristiwa pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 197, Pasal 106 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, adalah tidak sah dan tidak berdasar atas hukum .
Akibat dari tindakan Termohon dalam menetapkan Pemohon sebagai Tersangka, mengakibatkan Pemohon mengalami kerugian materiil dan imateriil sebesar Rp.10.2 miliar. Untuk itu Niharti meminta Pengadilan menghukum termohon, membayar kerugian material dan immaterial tersebut. (IKRAM)