PALU – Mantan Kepala Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan (KUPP) Kelas III Bunta, Dean Granovic, kembali mengikuti sidang lanjutan di Pengadilan Negeri (PN) Kelas 1A PHI/Tipikor/Palu, Selasa (10/01).
Pada sidang kali ini, Tim Penasehat Hukum (PH) dari Dean Granovic menghadirkan Ahli Hukum Pidana dari Fakultas Hukum Universitas Tadulako (Untad), Dr. Zubair, SH.,MH dan saksi meringankan atau a de charge, Muh Janur.
“Kami menghadirkan ahli dalam perkara ini karena terkait dengan dakwaan tentunya serta menjadi pendapat Ahli Pembanding, yang di mana Ahli yang dihadirkan JPU tidak menjawab pertanyaan penasehat hukum. Karena selama fakta persidangan, tersirat bahwa dakwaan-dakwaan yang diberikan kepada klien kami, baik dakwaan pertama, kedua maupun ketiga itu tidak terpenuhi berdasarkan unsur-unsur pidananya,” ungkap Jabar Anurantha Djaafara, selaku ketua tim PH terdakwa.
Dalam kasus ini, oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), Dean dikenakan tiga dakwaan sekaligus, yaitu tindak pidana pemerasan, gratifikasi/Penyuapan dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Terkait dakwaan tindak pidana pemerasan, dalam persidangan Ahli menerangkan bahwa apabila tidak ada upaya awal sehingga terjadinya suatu ancaman, pemaksaan yang dilakukan oleh terdakwa, maka tidak ada yang namanya pemerasan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 12 e Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
“Itu bisa masuk indikasi gratifikasi. Akan tetapi ahli sudah jelaskan bahwa pasal 5 atau 11 UU Tipikor itu harus ada dua pihak, baik pemberi maupun penerima dan harus ada kesepakatan atau janji. Dalam unsur gratifikasi itu ada yang diperbolehkan, ada juga dilarang undang-undang. Yang di mana unsur gratifikasi tersebut di dalamnya berupa hadiah, termasuk pinjam meminjam. Akan tetapi pinjam meminjam itu bisa dikatakan gratifikasi jika pinjaman tanpa bunga. Jika kembali ke dakwaan pertama yaitu pemerasan, tidak ada pemberinya,” ungkap Jabar, mengutip pernyataan Ahli.
Sementara itu, Pengacara Muda Afdil Fitri Yadi, SH mengatakan, dari fakta persidangan sebelumnya, saksi dari PT AMS (Nispu, Heldi, Djhoni), memberikan keterangan bahwa pemberian uang itu kepada Dean Granovic atas dasar kekhawatiran, di mana terjadinya suatu inisiatif. Dilihat dari sisi keadaan, kata dia, maka dapat diartikan waktu, yang di mana agen kapal harus melaksanakan perjanjian kepada pemilik kapal sesuai waktu yang disepakati.
Kata dia, dalam hal ini atas dasar kekhawatiran sehingga menimbulkan inisiatif. Atas dasar inisiatif itu timbulah suatu niat atau perbuatan yang melanggar hukum terkait kepentingannya untuk dicapai.
“Terkait dikeluarkannya Surat Persetujuan Berlayar (SPB) oleh Dean dan saksi-saksi tersebut menerangkan bahwa tidak pernah diminta, diancam dan diperas dan selama ini agen kapal tersebut selalu lancar dalam berlayar, tidak ada penghambatan administrasi,” tuturnya.
Artinya, lanjut dia, dapat ditarik benang merah dalam unsur-unsur dalam kategori 12 e. Mengutip pendapat ahli, bahwa itu tidak terpenuhi, karena atas dasar kekhawatiranlah PT AMS memberikan uang kepada Dean.
“Jadi jaksa mendakwa klien kami ini tidak tepat unsur-unsur serta tidak terpenuhi dengan pasal 12 e,” sebutnya.
Dalam persidangan, PH juga mempertegas kepada Ahli, apakah pemberian sejumlah uang kepada terdakwa yang dibungkus dengan pinjam-meminjam adalah gratifikasi.
Diketahui, Dean didakwa melakukan gratifikasi atas pemberian sejumlah uang dari Soehartono selaku Direktur PT Fortino Artha Sejahtera (FAS), investor PT Aneka Nusantara Internasional (ANI). Soehartono dan Dean tidak ada hubungan kerja atau kepentingan lainnya. Hanya sebatas pertemanan.
“Ahli menerangkan bahwa pinjaman memang termasuk gratifikasi. Akan tetapi kalau semua pinjaman adalah gratifikasi, maka tidak ada satupun pegawai negeri di Indonesia ini yang tidak melakukan gratifikasi. Jadi yang masuk gratifikasi adalah pinjaman tanpa bunga. “Dan Soehartono juga bukanlah tengkulak,” tegas Jabar.
Selain itu, berdasarkan keterangan Soehartono dalam persidangan sebelumnya, dana yang mengalir kepada Dean bukanlah gratifikasi, melainkan pinjaman Dean kepadanya, yang dimana uang itu digunakan anaknya untuk kebutuhan mendaftar Akpol dan keluarga, tidak ada kepentingan lain. Karena mereka tidak ada hubungan kerja.
Keterangan saksi Soehartono pada Selasa 27 Desember 2022 memberikan pinjaman kepada Dean karena pertemanan antara keduanya. Dan pinjaman tersebut itu juga dibuktikan dengan adanya surat perjanjian yang di dalam surat itu dicantumkan bunga dan jaminan sertifikat rumah.
“Artinya, dalam dakwaan ke 2 bahwa pemberian uang itu kepada Dean bukan berupa gratifikasi/suap, tetapi uang yang didapatkan secara halal, bukan hasil tindak pidana,” tutur Afdil.
Berkaitan dengan dakwaan ketiga yaitu Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU),
“Menurut Pendapat Ahli dari unsur-unsur TPPU itu menyembunyikan hasil kejahatan, menyamarkan, untuk tidak diketahui. Semua tindak pidana itu cenderung ke sana. Menyimpan di tempat yang tidak diketahui orang lain, yang di mana disebut juga termasuk Mens Rea (niat) yang disertai pembuatan melawan hukum,“ ujar Ahli.
Oleh karena itu, Ahli berpendapat, hasil kejahatan atau bukan hasil kejahatan, dalam TPPU dapat disita oleh negara untuk antisipasi menghilangkan atau menyamarkan barang bukti. Akan tetapi, penyitaan tersebut harus bisa dibuktikan kembali bahwa perolehannya atas dasar pembuktian terbalik yang diatur dalam UU No 20 Tahun 2001 Tipikor.
Salah satu yang disita oleh negara dalam perkara ini adalah mobil milik Dean, dalam hal ini Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB).
Berdasarkan hal itu, saksi a de charge yang dihadirkan, Muh Janur, menerangkan bahwa aset yang disita dalam perkara TPPU adalah mobil milik Dean yang dibeli pada tahun 2012.
Janur sendiri menerangkan sebagai orang yang dimintai tolong oleh Dean untuk mencarikan mobil tersebut di Kalimantan, karena kebetulan waktu itu saksi berada di kalimantan. Pada saat itu juga, Dean masih menjabat sebagai staf di Pelabuhan Pantoloan. Mobil itu kemudian dibalik nama pada tahun 2013.
“Dean menjadi kepala syahbandar Bunta tahun 2020,” ujar saksi.
Mengenai itu, Afdil menjelaskan bahwa secara perolehan aset tergambar didapatkan secara halal dan bukan dari tindak kejahatan TPPU.
“Maka dari itu negara tidak bisa menyita dan harus di kembalikan,” ujar Afdil.
Selain Jabar Anurantha Djaafara, Dean juga didampingi tiga penasehat hukum lainnya, yakni Yuyun, Mohamad Akbar dan Afdil Fitri Yadi.
Tim penasehat hukum menilai, kasus yang menimpa kliennya adalah fitnah yang dilakukan oleh salah satu perusahaan agen kapal.
Setelah melalui persidangan 5 kali dakwaan pemerasan, penyuapan, TPPU telah terbantahkan oleh keterangan saksi-saksi.
“Lantas, bila seseorang didakwa melakukan tindak pidana pemerasan dan penyuapan serta TPPU, apakah harus dihukum?, begitu besarnya kekuasaan kejaksaan dalam menjatuhkan hukuman seseorang yang belum dibuktikan terlebih dahulu?. Dimana asas praduga tak bersalah tidak dijunjung tinggi oleh Kejati Sulteng dalam pemberantasan tidak pidana korupsi seperti yang didakwakan,” tutur Afdil.
Tim penasehat hukum berharap kepada majelis hakim memutuskan bahwa kasus tersebut dapat dikategorikan prematur/belum sempurna.
Sidang selanjutnya akan dilaksanakan Selasa, 17 Januari 2023 dengan agenda menghadiri kembali saksi a de charge. (RIFAY)