Oleh : Azman Asgar
Penulis adalah Ketua Komite Pimpinan Kota Partai Rakyat Demokratik (KPK PRD) Palu
Sudah menjadi kebiasaan,ketika persoalan yang mendera bangsa ini justru diselesaikan dengan cara yang kurang relevan oleh rezim berkuasa. Ibarat lagu, sudah terdengar lawas di telinga pendengarnya. Entah yang berhubungan dengan politik, ekonomi dan sosial budaya.
Jauh panggang dari api, itu mungkin pepatah sekaligus kritikan yang tepat ditujukan bagi rezim sampai saat ini maupun sebelumnya. Betapa tidak, banyaknya persoalan yang terus menggrogoti tubuh bangsa ini selalu dijawab dengan hal-hal yang justru akan menimbulkan masalah baru bagi bangsa kita, parahnya lagi langkah yang ditempuh otoritas pemerintah justru menciderai nilai-nilai demokrasi yang dulu susah payah untuk dimiliki.
Masa kedewasaan kita berdemokrasi juga diikuti dengan munculnya persoalan-persoalan yang serius dalam kehidupan dalam berbangsa dan bernegara, mulai dari gerakan “radikalisme” mengatas namakan agama, kemiskinan, pembengkakan utang luar negeri, melemahnya nilai beli di masyarakat, korupsi merajalela, akses pendidikan yang begitu sulit dan masih banyak lagi hal-hal yang mendasar lainnya.
Tentunya dalam melihat setiap rentetan persoalan yang tersaji di tengah-tengah masyarakat, segenap rakyat Indonesia butuh kepastian hidup gemilang dimasa akan datang serta menginginkan penyelesaian yang kongkret pula dari pemerintahan Jokowi-Jk.
Di tahun-tahun berakhir kekuasaanya, pemerintahan Joko Widodo sibuk menyelesaikan janji-janji politiknya ketika belum berkuasa. Bahkan bisa dibilang jalan yang ditempuh Jokowi merupakan jalan pintas yang tidak pernah menyelesaikan persoalan yang sebenarnya.
Gerakan radikalisme dihadapi dengan pembungkaman demokrasi, kemiskinan dijawab dengan hutang luar negeri, mencerdaskan kehidupan bangsa dijawab dengan liberalisasi dunia pendidikan, mensejahterakan petani diselesaikan dengan perampasan lahan yang masif diikuti dengan pencabutan subsidi di sektor pertanian, mensejahterakan kelas pekerja dengan cara menerapkan out sourcing, ini semua penyelesaian yang hanya menemukan persoalan baru.
Terkadang nalar kritis kita berfikir, tugas negara hanya mengulang-ulang apa yang sebelumnya sudah diterapkan oleh rezim sebelumnya. Pernah tidak pemerintahan kita benar-benar serius melihat penyebab dari semua persoalan yang dihadapinya? Pertanyaan ini cukup sederhana tapi sulit untuk dijawab otoritas pemerintah itu sendiri.
Hampir dalam setiap pendiskusian yang sifatnya formal maupun non formal bermacam-macam temapun berserakan, mulai dari persoalan kebangsaaan, ekonomi, maupun ideologi. Kita disibukan dengan isu-isu tidak produktif, mulai dari kebangkitan komunisme,yang mana kafir yang mana bukan,kegaduhan elit politik dan masih banyak lagi tema yang hanya menjadi pergumulan kelompok-kelompok kepentingan (inters groups) yang berakibat kemunduran bagi proses demokrasi serta menghambat usaha-usaha mewujudkan persatuan nasional
Apa pernah rezim saat ini mendiskusikan bahaya laten Neoliberalisme? Apakah pernah rezim ini menggagas suatu kekuatan serta regulasi untuk menghalau gempuran neokolonialisme yang sudah menguasai setiap jengkal tanah kita? Bukankah itu ancaman nyata bagi keutuhan bangsa?
Mestinya sejak dari dulu pemerintahan yang berkuasa disibukan dengan hal-hal yang menyebabkan pemiskinan,munculnya gerakan radikalisme,melambungnya harga bahan pokok,jurang kesenjangan yang semakin melebar, bukankah polemik yang mendera adalah cerminan dari kebijakan rezim itu sendiri.
Negara lewat kepemimpinan Jokowi mestinya merangkul setiap golongan,kelompok maupun organisasi yang anti terhadap Imperialisme, mendorong setiap
kebijakan linear dengan cita-cita proklamasi kemerdekaan, bahkan lebih jauh pemerintahan jokowi mestinya harus lebh berani merombak regulasi yang menghamba kepada kepentingan pemodal
Tawaran para fanding father terdahulu masih sangat relevan dalam mengkonstruksikan negara yang berdaulat dalam segala hal. Dan itu tidak hanya bersifat Political will mesti dimanifestasikan dalam ranah political action.
Jalankan pasal 33 UUD 45 sebagai antitesa dari neoliberal yang memiskinkan, realisasikan Tri sakti sebagai kebijakan negara dalam menghalau liberalisasi disektor pendidikan,ekonomi,politik,sosial maupun budaya, sebab itulah sejatinya bangsa yang Pancasilais.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.