Pelaku penembakan di Masjid Al-Noor diidentifikasi sebagai Brenton Tarrant berusia 28 tahun, dari Australia. Penembakan itu ia siarkan secara online dan menghadirkan manifesto 73 halaman. Ia melabeli dirinya sebagai “warga kulit putih biasa”.
“Orangtua saya adalah orang Skotlandia dan Inggris. Masa kecil saya biasa saja dan saya tak terlalu minat di pendidikan, sedang-sedang saja,” tulisnya di catatan yang dia sebutkan sebagai manifesto itu.
Tarrant mengklaim serangan itu untuk mewakili “jutaan warga Eropa dan bangsa-bangsa etno-nasionalis lainnya”. Dia mengatakan “kita harus memastikan keberadaan rakyat kita, dan masa depan untuk anak-anak kulit putih”.
Dia menggambarkan alasannya adalah untuk “menunjukkan kepada penjajah bahwa tanah kami (mewakili orang kulit putih Eropa) tidak akan pernah menjadi tanah mereka (imigran), tanah air kami adalah milik kami sendiri dan bahwa, selama orang kulit putih masih hidup, mereka tidak akan pernah menaklukkan tanah kami dan mereka tidak akan pernah menaklukkan tanah kami.”
Tarrant mengungkapkan dia telah merencanakan serangan ini dalam dua tahun, dan memilih untuk menyerang masjid di Christchurch sejak tiga bulan lalu. Dia menyebut serangan di Selandia Baru saat jemaah sedang melakukan salat Jumat itu terinspirasi dari perjalanan yang dia lakukan ke Prancis pada 2017.
Dia mengatakan Selandia Baru bukan “pilihan utama untuk menyerang”, tetapi menggambarkan Selandia Baru sebagai “sasaran empuk seperti di tempat lain di Barat”.
“Sebuah serangan di Selandia Baru akan memusatkan perhatian pada kebenaran serangan terhadap peradaban kita, bahwa tidak ada tempat di dunia ini yang aman. Para penyerang berada di semua tanah kita, bahkan di daerah-daerah terpencil di dunia dan bahwa tidak ada tempat lagi yang aman dan bebas dari imigrasi massal.”
Dia juga mengatakan aksi itu dilakukan untuk membalaskan dendam Ebba Akerlund, seorang anak berusia 11 tahun yang terbunuh dalam serangan teror di Stockholm pada 2017.
Dalam manifesto tersebut, Tarrant menggambarkan serangan Stockholm sebagai peristiwa pertama yang menginspirasinya untuk melakukan serangan, khususnya kematian gadis kecil berusia 11 tahun itu.
“Ebba mati di tangan para penjajah, penghinaan atas kematiannya yang kejam dan ketidakmampuan saya untuk menghentikannya membuat saya tidak bisa lagi mengabaikan serangan itu,” ujarnya.
Pelaku juga mengatakan dia tidak merasa menyesal atas serangan itu dan berharap bisa membunuh lebih banyak “penjajah” dan pengkhianat.
Perdana Menteri Australia Scott Morrison mengaku bahwa pelaku adalah warga Australia yang disebutnya berpaham ektresmis sayap kanan.
Kejadian itu lalu dianggapnya sebagai terorisme yang dilakukan oleh kelompok ekstremis sayap kanan yang menjunjung tinggi hanya kelompoknya sekaligus menganggap kelompok lain dan pendatang adalah ancaman. Kelompok ini memiliki paham kebencian berdasarkan rasial yang kental.
Pelaku, disebut PM Australia, akan segera disidang pada Sabtu hari ini. Sementara tersangka lainnya, yakni dua orang pria dan satu wanita masih ditahan. (RIFAY/TIRTO/AP)