YOGYAKARTA- Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan, menjelaskan bahwa tata kelola Negara Republik Indonesia hingga menjelang proklamasi kemerdekaan ke-78 masih menghadapi persoalan serius. Tidak hanya di eksekutif, tetapi juga di kekuasaan yudikatif yang berkontribusi terhadap defisit demokrasi.
Hal ini diungkapkan saat membuka pelatihan Jurnalisme Inklusif yang diadakan oleh SETARA Institute. Pelatihan diikuti oleh sekitar 30 jurnalis dari berbagai jenis media dan lembaga pers mahasiswa dari berbagai daerah. Pelatihan ini berlangsung di Grand Tjokro, Yogyakarta, mulai Senin (14/8) hingga Rabu (16/8).
Akademisi Ilmu Politik Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) ini, menguraikan tiga sistem mekanisme pengawasan dalam demokrasi: check and balance antara lembaga negara, mekanisme kontrol oleh kelompok kepentingan, intermediate, kelompok perekat, dan pers.
Dia berharap media dapat menjadi bagian dari mekanisme pengawasan kekuasaan dalam konteks demokrasi, termasuk dalam relasi antara minoritas dan mayoritas yang timpang.
Hasan juga menyoroti pentingnya peran media dan kolaborasi dalam menghadapi kompleksitas persoalan di dalam negeri.
Salah satu peserta pelatihan dari Sulawesi Selatan Samsir menyampaikan, pelatihan ini penting, sebab diberikan pemahaman inklusif agar terciptanya toleransi.
“Sebab suara-suara minoritas dan marginal itu penting disuarakan oleh media terutama kelompok rentan,” ucapnya.
Olehnya penting media mengawal toleransi pesan-pesan perdamaian, agar orang bisa menerima satu sama lain,tanpa melihat identitas.
Reporter: IKRAM/Editor: NANANG