PALU – Pimpinan Wilayah (PW) Muhammadiyah Sulawesi Tengah (Sulteng) berharap agar tidak ada dikotomi antar mubaligh jika nantinya program sertifikasi da’i dari Menteri Agama (Menag) sudah berjalan.
Dikotomi yang dimaksud adalah, jangan sampai hanya da’i yang memiliki sertifikatlah yang bisa berdakwah, sementara yang lain (belum bersertifikasi) tidak dibolehkan.
Hal ini disampaikan Sekretaris PW Muhammadiyah Sulteng, Muh. Amin Parakkasi, S.Ag, M.H.I, Rabu (16/09) malam.
Terkait program tersebut, ia sendiri cenderung melihat dari sisi penyelenggaraannya, di mana Kementerian Agama (Kemenag) melibatkan lembaga negara yang lain, seperti Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Pembinaan Idiologi Pancasila (BPIP) dan lainnya untuk memberikan pelatihan kepada para da’i.
“Padahal kan sebenarnya kita ada beberapa ormas Islam yang bisa dilibatkan. Misalnya kalau secara nasional ada Muhammadiyah atau NU, kemudian di daerah ada Alkhairaat, mengapa bukan itu yang dilibatkan untuk membimbing da’i-da’i nya, kan lebih enak. Apakah negara tidak percaya dengan Muhammadiyah, Alkhairaat atau NU,” tutur Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Sigi itu.
Menurutnya, ada kesan ketidakpercayaan terhadap ormas Islam yang ada sekarang. Seharusnya, kata dia, ulama-lah yang diminta untuk membina penyelenggara negara, bukan sebaliknya.
Ia pun sepakat jika para da’i dilatih dan dibekali bagaimana cara berdakwah, bagaimana menyikapi politik, dan bagaimana soal perjuangan mendirikan negara. Namun, kata dia, melibatkan lembaga negara untuk memberikan pelatihan kepada da’i, tidaklah elok.
“Kemungkinan memang ada kekhawatiran yang berlebihan sehingga mereka harus menangani pelatihan para da’i ini. Tapi kan tidak cocok, masa sertifikasi da’i, kok penyelenggara negara yang memberikan pelatihan,” tambahnya.
Kata dia, jika memang ada da’i yang targabung di ormas baru, bisa dihubungkan dengan ormas yang sudah ada sekarang ini dalam hal pelatihan.
“Justru lebih enak mengontrol jika ada masalah dengan da’i yang bersangkutan,” terangnya.
Wakil Ketua Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Sulteng itu menambahkan, di internal Muhammadiyah sendiri, program pelatihan itu sudah biasa. Muhammadiyah sendiri memiliki banyak da’i yang bersertifikat setelah mengikuti berbagai pelatihan.
“Kalau di Muhammadiyah sendiri itu ada kader mubaligh dan lainnya. Jadi memang di Muhammadiyah diprogramkan seperti itu untuk upgrading atau pematangan,” jelasnya.
Olehnya, kata dia, Muhammadiyah sebenarnya biasa-biasa dan santai-santai saja dengan program tersebut.
“Karena kalau bicara ada pelatihan da’i, Muhammadiyah sendiri sudah biasa. Apalagi jika memang program ini tidak bersifat wajib. Jadi kita menyikapinya belum sampai pada penolakan,” tuturnya.
Kemungkinan, kata dia, memang sasaran dari program ini adalah mereka yang tidak berafiliasi dengan ormas besar.
“Tapi kita juga tidak menafikan saudara-saudara kita yang tidak berafiliasi ke ormas karena itu kan namanya ijtihad dan kita tidak boleh menyalahkan kalau mungkin ada cara pandang mereka yang berbeda,” sebutnya.
Secara umum, ia melihat program ini hanya di persoalan penamaannya saja, sehingga menimbulkan persepsi yang berbeda di masyarakat. Menurutnya, ada label sertifikasi itulah yang membuat orang bertanya-tanya.
“Kita pun menduga, materi-materi pelatihan itu juga sudah biasa, sudah sering juga kita dapatkan. Sama saja dengan yang sudah dilakukan selama ini, ormas juga biasa mengundang kesbangpol, kepolisian, BNPT dan lain-lain,” tutupnya. (RIFAY)